Archive for Agustus 2011
CANDU DIMASA LALU
By : adminpenulisAh... galauku terasa menjemukan
hingga pelariannku mencari pembenaran soal waktu yang harus kubuang untuk
bersenang-senang. Dua ribu tiga. Malam yang sepi, berdua disebuah
rumah kosong, berteman dengan pemabuk yang sudah teramat kalap, dan kasur yang empuk tempat yang pada akhirnya aku muntahi.
Lintingan pahpir kecil menari dijari-jemari sepulang sekolah. Telah terlewat masa itu, aku
bukan orang yang tak pernah menguji diri dari kekelaman. Ini sedang mengungkit
kisah yang tiba saja bangkit membagi kenangan. Sedari dimasa-masa
mencari jati diri, terjerembab jatuh dalam Candu dimasa lalu.
Semua telah siap. Daun kering
yang katanya dari Bangkok, dianggap biasa saja. Kuhirup satu, dua, tiga dan
empat sampai hitungan yang tak mampu lagi terhitung entah di angka berapa
sampai aku sibuk dalam dunia khayalan, mataku sayu bermetamorgana, memandang
kesetiap sudut lampu remang-remang, suaraku terasa parau, tubuhku sesekali dingin, menggelinjang, meliuk-liuk, tertawa lepas seperti manusia gila!
Mualku hebat, berjalan
sempoyongan mencari genangan air, berharap lepas dari tikamam asap yang sudah
membungkus tubuh. Bau yang tak wajar memenuhi seisi ruangan. Tak seperti biasa,
ini sangat berbeda, sampai aku teriak-teriak keasyikan seolah ingin bernyanyi tapi tak bisa, aku terasa mual, dan mualku membuat busa-busa keluar menciprat kedinding yang catnya sudah terlihat kusam, ini memang villa tua, tempat dimana temanku sering asik melinting, lintingan setan. Aku kembali, aku sudah tak peduli bau amis muntah
berserakan di sepertiganya malam.
Menikmati, memaksakan diri menjajal
seberapa kuat mampu bertahan, rupanya rasa penasaran ini harus berakhir ketika
Adzan berkumandang, Tuhan menegurku, mengusik waktu yang sedang asyik, “Dia”
berikan kasih sayangnya dengan kesempatan kedua untuk melihat dunia dari sisi
agama. Andaikata diwaktu itu tiada
terdengar suara kalam mungkin saja ruh ini sudah lepas dari raganya, ataukah aku masih berkubang dalam kemaksiatan dengan
bayang-bayang kematian. Adzan di waktu itu terasa berbeda. Aku tak tahu suara Bilal Bin Rabbah seperti apa, tapi saat itu yang terdengar adalah seperti nyanyian Tuhan yang dinyanyikan oleh ciptaanya. Mungkin nyanyian itu untuk memanggil dalam orkestra spiritualitas.
Tak ada yang sempurna, lika-liku
itu ada, sebab yang terlewat hanya mampir saja, aku tidak cemburu pada mereka
yang tak pernah melewati masa-masa ini, sebab hidup yang menarik dipenuhi
warna. Manusia bukan mesin adakalanya harus berimprovisasi dan bertema seperti
halnya tulisan atau cerita.