Archive for November 2014
PENODA DEMOKRASI
By : salimdoank
Indonesia adalah
sebuah Negara majemuk yang mempunyai jumlah penduduk ke 4 terbesar di dunia
dengan berbagai suku dan latar belakang agama, dan Indonesia adalah penganut
jalan kehidupan demokrasi pasca era reformasi.
Indonesia bukahlah
Negara yang pertama menganut sistem demokrasi karena jauh sebelum itu,
negara-negara di kawasan Benua lainya seperti Amerika, Eropa, Afrika dan Asia
lainya sudah terlebih dahulu menggunakan kekuatan hukum demokrasi sebagai hal
yang mutlak dan absolute untuk menetapkan dan menampilkan sebuah identitas baru
menuju kehidupan baru.
Demokrasi adalah
penjernih keadaan dari hal yang buntu menjadi berujung, ia pengantar hati
nurani rakyat yang tersampaikan lewat sebuah pendapat atau gagasan, sugesti
yang di tawarkan cukup mempresentasikan keadaan jiwa dari setiap manusia yang
sesungguhnya, ia ibarat oase di padang pasir yang membuat decak kagum mata di
antara para penyanggah.
Ketika rezim berkuasa
dengan otoritarianya, demokrasi muncul sebagai jawaban menuju kebebasan, rezim
tidak akan tenang sebelum api Demokrasi berhenti berkobar karena rezim yang absolutis
adalah penganut hukum tunggal, yang ingin mengatur dalam segala aspek kehidupan
individu. Dari hal yang irasional sampai hal yang rasional, seorang rezim
menggunakan nalar berfikir yang di iringi sifat ambisius tanpa menjadikan
pengantar isi hati nurani sebagai tumpuan untuk bersandar dalam keadilan,
mengesampingkan segala perasaan dan mengedepankan nafsunya.
Indonesia ibarat
sebuah anak kecil dari pasca kelahirannya tahun 1999 menuju dunia berkehidupan
yang menganut sistem Demokrasi sebagai “Ibu” dari kepatutan untuk membuat
segala bentuk keputusan yang menyangkut kengaraan, rakyat di beri kebebasan
untuk memilih langsung dari tingkatan Yudikatif, Eksekutif dan Legislatif,
bahkan rakyat Indonesia di beri kepatutan untuk memilih para senator (Dewan
Perwakilah) yang di inginkanya, dari tingkatan desa sampai setingkat Gubernur
semua telah terlaksana dengan adanya pilihan langsung dari rakyat.
Tetapi di balik itu
semua, bukan tidak mungkin ternyata banyak yang berlomba untuk memperebutkan
segala bentuk kursi kekuasaan hanya untuk merasakan panas dinginnya duduk di
atas kursi dengan hanya ber-Retorika di depan umum, atau hanya ingin merasakan
kewibawaan dan Sakralan dari kursi kekuasaan yang telah di milikinya hanya
untuk sebuah harga diri dan pencitraan diri.
Hari ini atau hari
kedepan jika kita menerawang rasa-rasanya sangat sukar untuk melihat adanya
pemimpin yang mengambil atau ikut berlomba untuk berkuasa dengan menjadikan
kursi kekuasaan sebagai amanah mengambil kesempatan untuk merubah dari ke
adaan yang tidak berpihak menjadi berpihak, untuk merubah dari yang di layani
menjadi melayani, dan menjadikan kekuasaan yang ada di tanganya untuk sebuah
kemaslahatan bagi semua orang, dan mendedikasikan dirinya di atas kekuasaan
yang membantu rakyat yang telah memilihnya, bukan dengan mengekang atau bahkan
menghilangkan azas demokrasi yang telah memilihnya untuk menjadi penguasa.
Tag :
Pemikiran,
KEDELAI DAN KELEDAI
By : salimdoank
Miris sekali rasanya
di negeri yang begitu subur dengan ke anekaragaman hasil pangan, lagi-lagi
Indonesia harus malu menjadi negara
penerima inpor kedelai dari negara sekaliber Amerika, sebuah fakta yang
ironi di tengah kehidupan rakyat Indonesia yang terkenal sebagai negeri pangan
dunia karena program dan keadaan alam yang mendukung sebagai negeri panggilan
penghasil pertanian asia terbesar, dekade era orde baru Indonesia di sebut
sebagai negara Macan Asia yang berkonotasi lebih kepada hal sandang pangan, di
mana Indonesia mampu beswasembada beras yang mampu mengangkat harkat dan
martabat bangsa ini menuju puncak ke masyuran. Menilik ke masa-masa orde baru,
Indonesia mampu menjadi negara yang tak pernah kekurangan dalam masalah hasil
pertanian, pernahkah kita sesering mungkin di era di mana orde baru berkuasa
Indonesia kekurangan stok pangan ???
Indonesia yang kaya
akan slogan sebagai negara subur kini menjadi negara ironi di antara yang tak
pasti, ironi sebagai negara makmur yang sering di elu-elukan sebagai negara
kaya hasil bumi namun tak pasti hasilnya seperti apa dan bagaimana, karena
kenyataanya kita menghamba kedelai kepada negara superpower dan sekaliber
Amerika yang lebih terkenal sebagai slogan negara imprealis dan negara multiras
dalam hal budaya dan negara ekonomi paling maju dalam hal slogan sebagai negara
finansial modern, namun semua itu berbalik, sebuah negara yang lebih terkenal
ke arah yang jauh 180 derajat berbeda dengan negara kita Indonesia yang
nyata-nyata dan ramai-ramai di berita Indonesia sebagai negara penghasil pangan
pertanian, sesuatu yang tak dapat di percaya bahwa kita menghambakan pangan
kita di bawah kaki mereka (Amerika), apakah anda percaya lebih dari separuh
hasil pertanian kedelai kita di peroleh atau di inpor dari negara Amerika,
sesuatu yang mustahil untuk kita percayai dan jarang kita mendengar sebuah
negara adidaya memproduksi kedelai, rupanya Amerika bukan saja menjadi negara
hebat dalam hal ekonomi, budaya, persenjataan, teknologi, namun kini Amerika
terkenal juga sebagai negara penghasil kedelai yang rata-rata lebih tersohor
bahwa kedelai adalah hasil bumi hanya berada dan di tanam dan berada di wilayah
bersuhu tropis di seperti seperti Indonesia, Amerika kini menjadi negara baru
dalam dunia imprealisme kedelai dan kita lagi-lagi menjadi sebuah negara yang
penuh dengan julukan dan keadaan yang alam yang mendukung namun tak mampu
menggunakan semua kemampuan yang ada untuk di gunakan semestinya.
Hanya manusia-manusia
bodoh yang mempunyai lahan pertanian yang begitu kaya dan terkenal sebagai
negeri sandang pangan namun tak mampu menjadikan kesempatan dan kebanggaan yang
dimiliki untuk benar-benar di buktikan bahwa apa yang di miliki cukup untuk
menjamin akan sebuah kata tentang ketersedian dan kesejahteraan bagi
pemilikynya dan rakyatnya, sebuah fakta ironi antara kita dan Amerika, Amerika
sebagai negara yang terkenal ke arah yang berlawanan nyata-nyatanya, ternyata
kita (Indonesia) yang terkenal sebagai negara negerinya petani, ternyata kita
penghamba kedelai dari negeri paman sam nan jauh di ujung sebrang, kapan-kah
kita belajar menyadari bahwa apa yang menjadi sebutan dan sanjuangan kepada
Indonesia sebagai negara pangan bisa sesuai dengan trademark-nya Indonesia, dan
belajar mengenal akan slogan yang sering menjadi brand dalam tren tatanan
sosial media kita, segera-lah kita mengambil langkah besar dengan membuktikan
kembali bahwa Indonesia layak dan sangat layak menjadi negara dengan sebutan
sebagai negara penghasil pangan pertanian tersebut, bukan dengan membiarkan
diri seperti keledai yang harus beberapa kali merasakan pembodohan terhadap
dirinya sendiri.
Pemerintah dalam hal
ini birokrasi juga berperan penting akan nasib para petani, selain cukong dan
tengkulak yang sewenang-wenang menaik-turunkan harga, memonopoli harga tanpa
mengindahkan akan kebutuhan para petani kedelai dan produsen hasil olahan dari
kedelai, mereka para cukong dan tengkulak lebih berorientasi mencari keuntungan
sebesar-besarnya dengan memanfaatkan hasil bumi sejenis kedelai untuk hasil
olahan yang bersifat sekuder. Bagi kalangan petani dan rakyat kecil lainnya,
para cukong, tengkulak dan antek perorientasi keuntungan ini lebih nyaman
bertransaksi dengan mereka pemilik pabrik kecap dan hasil olahan lainnya di
luar Tempe sebagai jajanan dan kebutuhan lauk pauk rakyat kecil dimana tempe
menjadi kebutuhan primer, "mereka" para perorientasi keuntungan lebih
mengkompromikan kelas menengah sebagai penikmat hasil pabrikan bukan
memprioritaskan rakyat penikmat pabrikan kecil sperti Tempe yang menjadi
kebutuhan primer bagi rakyat kecil. Sadar atau tidak, para perorientasi
keuntungan ini mengabaikan hak-hak dasar akan kebutuhan manusia Indonesia
lainnya yang mempunya status sosial sebagai konsumen dan pecandu Tempe, sepelik
apapun berbicara masalah keuntungan sesungguhnya kita tahu penikmat dan peminat
Tempe bukanlah kalangan kelas bawah saja, tetapi di luar itu semua, kita dan
bangsa Indonesia di berbagai penjuru tanah air mulai dari seorang Presiden,
Menteri, Akandemisi, dan Profesionlis mengatakan bahwa sesungguhnya Tempe
adalah kebutuhan yang sesekali wajib di konsumsi bagi mereka yang tak pernah
atau jarang sekali mencicipi, tidak perlu di ragukan tantang masalah gizi yang
ada pada Tempe, dari rekomendasi sang yang sudah di sebutkan tadi, dari
tahun-ketahun pun jelas, Tempe bukanlah makanan asing dan sembarangan, selain
gizi yang terkandung di dalamnya, dalam rekatan kedelai yang terbungkus dan
membentuk serta manghasilkan rasa, ada benih-benih perjuangan para petani kita
yang tetap dengan gigih sekuat tenaga membudayakan Tempe sebagai budaya asli hasil
bagian dari olahan pangan Indonesia dan merupakan bagian dari sekedar peneman
makan di meja.
Hanya manusia Keledai
yang mempermainkan harga kedelai dan menghambakan kedelai kepada Negara Amerika
yang jauh sangat bertolak belakang dengan slogannya sebagai negara imprealis,
sesuatu yang memalukan dan mungkin bagi kalangan awam di pedesaan bahwa
ternyata separuh kedelai kita hasil inpor dari Amerika.
Ketika sebuah negara
imprealis Amerika mengalami musim panas kita menjadi gusar, cemas dan gelisah
di buatnya karena kita mengantukan separuh pasokan Tempe kepada negara yang
bertolak belakang, kita menjadi khawatir dan teriak-teriak dimana-mna ketika
separoh pasokan Tempe tersendat karena sang adikuasa sibuk dengan politik
perangnya, akan-kah kita tetap menjadi negara yang mengharapkan pasokan
segala-galanya dari Amerika selain persenjataan, dan ekonomi ??
BERHARAP PADA KEDELAI
Semoga esok kelak
negeri ini tidak sampai parah mengharapkan pasokan yang sudah menjadi hasil
dari kedelai tersebut seperti Tempe, Oncom, dan Tahu yang menjadi ciri khas dan
urat nadi terakhir masyarakat Indonesia. Semoga pula Kementerian Pertanian,
Perdagangan, UKM dan Bulog serta lembaga lainnya menjadi jembatan bagi petani
Indonesia untuk bisa berkembang menjadi lebih baik bukan dengan terus
beretorika dan membatah akan kegagalannya menjadi pengayom petani, semoga pula
Kementerian dan lembaga tersebut menjadi pembantu ikhlas untuk membantu para
petani kita di masa paceklik kedelai ini, untuk benar-benar sementara waktu
walaupun jangka pendek, memberi jalan terbaik bagi petani kedelai dan produsen
Tempe agar tetap bertahan dalam segala keadaan terlebih di saat sekarang ini
dimana kita kekurangan jumlah produksi Kedelai sebagai bahan dasar adanya Tempe
dan hasil sejenis lainnya, data dari beberapa sumber yang di peroleh setelah di
tahun 2010 produksi kedelai kita lebih menurun di tahun 2012 ini, harapan
kedepan Kementerian dan Lembaga yang mengurusi masalah logistic dan hasil
pertanian, dan oknum-oknum di bawahnya yang tidak bertanggung hawab tidak
menjadi cukong yang memonopili harga sedmikian rupa demi keuntungan sesaat, dan
kepada Presiden pula akhirnya opini ini di alamatkan semoga kiranya pemimpin
kita mampu memberi gebrakan yang berarti membuat inovasi dengan memerintahkan
Kementerian dan Lembaga-lembaga di bawahnya, khususnya yang mengurusi persoalan
pangan hasil pertanian yang menjadi nyawa bagi harapan bagi sebagian masyarakat
Indonesia agar sesegera mungkin membuat terobosan maha penuh karya dalam hal
pertanian untuk melawan dominasi Amerika di segala aspek perekonomian khususnya
stok kebutuhan petanian dan produsen kecil Indonesia untuk sesegera mungkin
mengakhirinya dengan swasembada kedelai di tahun-tahun mendatang dan tidak
menjadi keledai karena masalah kedelai yang harus menelan pil pahit untuk
kesekian kalinya dengan masalah pasokan setalah kasus inpor beras dari Vietnam
dan thailand, jika kita tetap berharap dan bergantung pada Amerika apakah kita
sanggup kelak suatu masa bukan saja kedelai tapi hasil dari kedelai seperti Tempe,
Oncom, dan Tahu dan produk masyarakat yang di hasilkan dair olahan kedelai dan
sejenisnya di pasok dari Amerika juga, semoga saja tidak.
Tag :
Pemikiran,
ANTARA DILEMA DAN HUJATAN
By : salimdoank
Ketika sebagian orang
berkoar tentang HAM dan eksploitasi anak, mari sejenak kita merenungi bahwa
tidak semua orang hidup di atas kemurahan rejeki dari Tuhan dan tidak semua
orang hidup dalam bergelimpangan harta atau paling tidak hidup dengan sebuah
keadaan yang cukup berada, hari ini aku melihat sebuah cerita yang tayang
ditelevisi swasta, aku inisialkan TV tersebut adalah “TT”, pada tayangan yang
tayang hari Senin tanggal 27 Februari 2012 jam 17:30, dan dalam tayangan yang
berlokasi di Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat, seorang anak bernama “Andri
yang harus bergelut dengan dunia yang tak sepantasnya bagi seorang anak di
bawah usia 20 tahun, katakanlah usia anak itu masih 10 tahun, bagaimana dia
haru bekerja menghidupi seorang ibu dan adiknya, dengan bekerja sebagai tukang
memasak dan sekaligus sebagai pembantu kepada seorang juragan ikan, seorang
anak yang memang sangat jarang bagi seusianya untuk bekerja, memang masih
banyak andri-andri yang lain yang bahkan usia nya lebih muda, bahkan pada
sebuah acara berita di statisun tv swasta lainya yang aku lihat, di sulawesi
seorang anak perempuan yang usianya di bawah 10 tahun harus hidup berdua dengan
ibunya yang sakit-sakitan, miris dan terharu rasanya seorang anak perempuan
harus hidup dalam kepayahan dimana sang ibu sakit dan dia tanpa henti melayani
ibunya yang kesakitan, sang anak perempuan itu memasakan dan memandikan bahkan
menyuapi lebih dari itu dia mencari uang untuk biaya hidup sehari-hari, bahkan
terkadang berharap belas kasian dari para tetangganya, untunglah jiwa sosial
dari sebagian masyarakat yang berada persis dekat rumah seorang gadis kecil
tersebut masih terpelihara, sungguh ironi rasanya di tengah ramainya
perbincangan nasional dan internasional tentang pelarangan pekerja anak dan
ekspolitasi anak.
Kembali ke bahasan
seorang anak, seorang anak prempuan dari sulawesi ini tidak tahu bahwa usianya
adalah usia bermain dan belajar, yang dia tahu adalah bagaimana sang ibu
tersayang bisa tetap hidup dan berharap adannya kesembuhan walau pada
kenyataanya untuk membawa ibunya kerumah sakitpun tidak ada karena bagi seorang
anak kecil perempuan dari sulawesi itu dengan polosnya berfikir adalah yang
terpenting bagaimana hari ini ibunya bisa makan dan bisa tidur nyenyak dan
tetap tersenyum padanya.
Namun hari ini
penulis ingin menggambarkan kembali
bagaimana seorang anak yang mungkin ada di antara kita harus berkerja demi
menghidupi atau bahkan demi membantu orang tuanya, bahkan dengan kerelaan hati
tanpa permintaan dari orang tua, seorang anak yang lahir dari keluarga yang
serba kekurangan harus bergelut dengan dunia yang cukup ekstrim bagiku, dimana
usia yang seharusnya dinikmati dengan masa sebagai anak-anak harus terlwati
dengan hiruk pikuknya kesibukan berkerja dengan orang-orang dewasa. Hal ini
jelas sangat bertentangan sekali dengan pemaHAMan sebagain orang, yang
mengkapnyekan stop eksploitasi anak dan stop pekerja anak, bahkan di belahan
dunia manapun dan di kota manapun yang menghendaki dan bahkan melarang adanya
pekerja anak di bawah usia yang semestinya,
Iya memang benar,
bahwa seorang anak di bawah usia pekerja sangatlah bertentangan dengan nilai
HAM dan kebebasan seorang anak itu sendiri, dimana seorang anak juga punya hak
untuk bisa merasakan kebebasannya sebagai anak dan menghabiskan waktu untuk
bermain dan belajar serta merasakan bangku sekola layaknya anak-anak yang lain,
stop pekerja anak dan stop ekspoitasi anak yang sedang di germborkan dan
menjadi jargon dalam beberapa media kampanye dengan tema tindak kekersan anak,
tentu hal-hal tersbut sebagai penulis sebenarnya sangat setuju sekali bahwa
dimanapun dan darimanapun seorang anak, bagi penulis adalah masa indah yang
tentu bukan suatu keharusan namun memang sudah menjadi sebuah kewajaran bahwa
seorang anak punya hak untuk mersakan dan menikmati masa indahnya, namun
kembali lagi bahwa tidak semua manusia di dunia ini seberuntung dan sebahagia
bagi orang yang tidak pernah mersakan hidup dalam kesulitan tentu hal di atas
dimana cerita anak harus bekrja tanpa di minta atau bahkan orang tua melarang
anak bekreja namun sang anak bergeming untuk tetap bekerja demi keluarganya,
tidak bisa di terima dan tidak masuk akal, pertanyaanya apakah jika sebuah
kelaurga kecil ada di tengah-tengah kita umpama ada seorang sebuah keluarga
dimna hanya ada seorang anak dan seornag ibu yang sakit, apakah setiap waktu
kepeduliaan dari kita-kita akan ada, kalaupun ada tentu hal ini tidak
sambung-menyambung karena jiwa sosial dalam masyarakat sudah mulai rapuh.
Dan adanya cerita
kepedulian sesorang pada keadaan tertentu, tidak bisa di ukur apalagi keadaan
tersebut berada dalam kultur sosial masyarakat yang cenderung hidup dalam
kehidupan di tengah-tengah masyarakat acuh dan saling sibuk dengan urusaan
masing, alasan lainya adalah jikalaupun ada kepeduliaan di tengah-tengah
masyarakat tentu keadaan sebuah keluarga kecil dan cerita anak menghidupi orang
tuanya sangat jarang tersiar dan terkadang jarak antar kehidup masyarakat yang
berjauhan satu dengan yang lainnya, serta cara bersosialisasi minim antar
masyarakat, sesuatu yang sulit untuk bisa di gambarkan sepenuhnya dan
selengkapnya dalam tulisan ini karena kenyatanya sering di antara kita melihat
berita dan cerita seorang anak hidup dalam keadaan dilema dan hidup dalam dunia
kelam dimana ia harus berjuang di usia yang tidak semestinya dan berjuang demi
sebuah kehidupan sambung menyambung untuk tetap hidup dan bertahan hidup di
tengah-tengah ketidak pastian.
Dilema ini seperti
sebuah cerita yang terkadang bagi sebagian orang sulit untuk diterima, karena
pada kenyataanya yang mereka tahu (bagi orang-orang yang tak pernah merasakan
hidup dalam kekurangan) sulit untuk di terima dan hal tersebut terkesan ironi,
disisi lain ada seorang anak yang bekerja demi membantu orang tua karena alasan
ekonomi dan sisi lain adapula di
sebagian masyarakat, bahwa seorang anak bekerja atas dasar eksploitasi demi
keuntungan terntentu, kedua-duanya memang sungguh tidak bisa di terima, namun
kita cukup sulit untuk mengatakan adanya ekploitasi bagi seorang anak yang
berkerja dengan kerelaan hati dengan niat ingin membantu, namun cukup mudah dan
jelas untuk mengatakan salah besar untuk alasan kedua dimana anak di ekploitasi
demi keuntungan tertentu, walau pada dasarya kedua-duanya tetaplah pada porsi
yang memang benar-benar tidak di benarkan, namun begitulah kenyataanya dimana
semua itu bersumber yang tak jauh dari alasan ekonomi, sesuatu yang sulit untuk
menghindari hal seperti itu jika kita mampu mengatakan untuk hal sederhana ini,
maka jawaban dari segalanya adalah perlu adanya kesejahteraan kepada masyarakat
harus di tingkatkan dan pemerataan ekonomi terhadap rakyat kecil harus
benar-benar di bangun, baik secara makro/mikro, selaian itu jiwa sosialisme
pada masyarakat juga harus di galakan agar rasa kepeduliaan itu tetap ada dan
berkembang, dilema di atas hujatan yang memang tak jauh dari alasan ekonomi,
maka beruntunglah bagi mereka yang tak pernah merasakan hidup seperti
andri-andri lainya dan gadis kecil dari sulawesi, satu hal tentunya janganlah
terlalu mendiskreditkan sebuah keluarga yang dimna kekurangan dalam ekonomi
sebagai alasan menjadi penyebabnya, walaupun semua itu di atas ketidak benaran
karena pengabaian akan hak seorang anak, semua perlu solusi yang baik dan tidak
saling menyalahkan atau menyudutkan, solusi yang tepat dan cepat dari
pemerintah sebagai pengayom dan pelayan masyarkat adalah yang di harapkan
selain itu toleransi sikap peduli sesama antar masyarakat mutlak di perlukan,
harapan lainnya pemerintah lebih peduli akan hal kecil seperti ini agar tidak
terkesan menjadi sebuah isu yang besar ketika media ramai-ramai menggunjingkan
tindak kekerasan terhadap anak-anak. Semoga!!
Tag :
Pemikiran,