SERING DIBACA

Archive for Mei 2024

KESEDIRAN DI LEUWI SANTRI

By : kontributor


Refleksi Kesendirian di Leuwi Santri : (Spiritual Awakening)
Oleh : salcenter.id

Kepasrahan yang tiada batas, yang sudah terlewati dengan beragam ujian ruhani dan lahiriah dari proses demi proses yang sangat sukar dan terasa melelahkan, telah menempa diri. Hingga pada akhirnya, proses demikian itu pula yang membuat rasa takut pada dimensi lain hilang.


Dalam satu momen yang mungkin bisa dikatakan menjadi bagian alur cerita tentang Spiritual Awakening atau efek kebangkitan spiritual adalah pengalaman menyendiri di sebuah tempat yang konon menyimpan ragam cerita dan mitos di Puncak, Bogor.


Selama 12 jam lamanya, duduk di atas batu di sebuah leuwi bernama Kali Ci Esek, atau tepatnya Leuwi Santri, yang dimulai dari pukul 8 malam hingga 8 pagi. Duduknya di atas batu besar bukanlah maksud bertapa, tapi sekadar mancing; namun, memancing pun seperti hanya formalitas saja. Mungkin lebih tepatnya, keinginan menyendiri untuk meresapi apa yang Allah ciptakan. Sambil menyalakan sebatang rokok, segelas kopi cup yang dibawa diminum dengan nikmat, dengan setiap sisi sungai yang sebagian gelap dan sebagian terang oleh rumah warga dari kejauhan.


Mitos tentang keberadaan jin atau siluman di tempat tersebut pun tidak terbersit sedikit pun. Rasa takut sebagai manusia memang wajar, tapi ketakutan itu hanya seperti bayangan dan seperti berada di ujung kuku; tidak terasa dan tidak memberikan pengaruh sedikit pun. Yang ada hanyalah keinginan untuk melanjutkan duduk terdiam, menikmati semilir angin di malam hari. Pada saat-saat seperti itu, selalu muncul pemikiran, "Bahwa segalanya ada yang mengatur. Raga dan batin ini adalah milik Sang Khalik, maka tidak ada yang lain yang lebih berhak mengatur selain Dia yang menciptakan diri, alam, dan makhluk-Nya."


Ular hitam yang jatuh di depan kaki pun, yang membuat sedikit terkejut, tidak ada niat sedikit pun untuk melukai atau membunuhnya. Mulutku hanya berkata, "Pergilah, kita hidup di antara alam yang diatur oleh-Nya. Kembalilah dan takutlah pada yang menciptakanmu." Entah kenapa, berlalu ular itu pergi begitu saja, hingga aku kembali menikmati sepoy angin di malam hari. Selama menikmati kesendirian itu, hanya keheningan malam dan suara gemercik air serta sesekali suara burung hantu di atas pepohonan yang rimbun.


Momen kesendirian ini menjadi kesempatan berharga untuk menyelami seluruh isi yang ada dalam jangkauan intuisi. Bergetar serasa ada vibrasi energi yang menyapa oleh lembutnya desiran angin yang merangsek masuk ke sekitaran badan di bagian punggung, terasa adem dan sesekali hangat. Dalam keadaan itu, tergoncang pikiranku mengucapkan lafadz La Ilaha Illallah dan Astagfirullah. Aku sadar aku sedang di mana, ini bukan tempat di mana berkumpulnya orang-orang melantunkan dzikir asma-asma Tuhan Allah SWT. Aku sadar ini tempat di mana aku sedang dalam dan sedang pada proses menyelami dan menjemput penerimaan alam untuk menyatu merasakan sensasi hawa energi laksana perahu yang mendayu-dayu.


Cerita ini bukan tentang keangkuhan “keakuan, akulah aku”. Tulisan mengalir begitu saja tentang telahnya aku merasakan dan pernah masuk pada fase ini. Ini bukan pula cerita mistis atau khayalan. Inilah kisahku yang terbaitkan dalam alur tulisan yang berparagraf dengan beberapa alinea. Ini tentang fase di mana hampir atau sebagian orang mungkin pernah merasakan sama di tempat dan momen berbeda.


Singkat cerita dan kembali menyelami situasi seperti penggambaran tadi. Aku tetap duduk dengan berbagai posisi dan sesekali berpindah dari satu batu ke batu lainnya untuk menyepi menyendiri dengan nalar rasional bahwa saat itu memang sendiri, tiada teman, dan memang seperti sedang ditemani. Tiada melihat tapi seakan menjadi pusat perhatian dari keramaian yang abstrak. Tak ada rasa panik, tak ada rasa gelisah, semua mengalir, menyatu menyesuaikan diri menjadi bagian dari alam. Jika pun ada yang hadir pada waktu itu tanpa bisa aku lihat, mungkin sedang asyiknya memandang, atau sedang memang sama-sama merasakan keheningan alam. Namun, itulah realitas yang terjadi. Kita seperti dan dalam keadaan seperti, dan seperti masuk dalam ranah sugesti. Sampailah akhirnya, tak terasa di pukul 4.30, kumandang adzan berkumandang, dan ayam pun mulai bersahutan menyongsong fajar pagi.

Tag : ,

- Copyright © salcenter.id - salcente.id - Powered by Blogger - Designed by salcenter -