SERING DIBACA

Archive for Juni 2024

SUNGAI NADI HIDUP TERLUPAKAN

By : kontributor


Di tengah gemuruh kehidupan modern yang berkilau, ada satu elemen alami yang sering kali terlupakan, tersembunyi di balik bayang-bayang beton dan kaca. Sungai, sang pembawa arus kehidupan, perlahan merana di tengah hiruk-pikuk peradaban. Padahal, sungai adalah saksi bisu perjalanan manusia, mencerminkan jati diri dan sejarah kita yang kaya. Mengabaikan sungai sama dengan mengabaikan asal muasal kita, tempat di mana identitas sejati terbentuk.
 
Sungai bukan sekadar aliran air; ia adalah urat nadi bumi yang menghidupkan segala yang disentuhnya. Bayangkan, ribuan tetes air yang mengalir bersama, seperti barisan pahlawan tak terlihat, membawa pesan kehidupan dari hulu ke hilir. Setiap lekuk dan belokan sungai menyimpan cerita, legenda, dan warisan budaya yang tak ternilai. Di tepiannya, nenek moyang kita dahulu kala bercocok tanam, membangun peradaban, dan menemukan jati diri mereka. Sungai adalah buku sejarah alami yang terbuka lebar, menunggu untuk dibaca dan dihargai, dan manusia di wariskan hanya cukup dengan menjaga dan merawatnya, karena seyogyanya sungai hiasan alam yang Tuhan suguhkan didunia ini dalam pangkuan ketakjuban kita.
 
Namun, kini sungai-sungai kita seolah menangis dalam sunyi, tertutup limbah dan sampah yang kita buang tanpa rasa. Airnya yang dulu jernih dan menyejukkan, kini berubah keruh dan penuh racun, seperti cermin yang retak, mengaburkan refleksi identitas kita. Kita lupa bahwa merawat sungai berarti merawat diri kita sendiri. Setiap sampah yang kita buang ke sungai adalah noda pada jati diri kita, setiap polusi adalah luka yang kita goreskan pada warisan nenek moyang. Kita kadang bersikap dzalim pada apa yang sudah ada, menjadi perusak, bahkan tak sedikit diantaranya meratakan sungai hanya demi menyambung kehidupan untuk beranak pinak, mengganti keberadaan sungai dengan tumpukan tanah yang beralih fungsi menjadi tempat kita membaringkan tubuh. Acap kali kita bersikap sentimentil pada keberadaan sungai dengan sikap acuh dan kebengisan kita, menjadikan sungai seakan pesaing kehidupan.
 
Merawat sungai adalah tindakan mulia yang melampaui batasan fisik. Ini adalah panggilan jiwa, seruan untuk kembali pada akar dan menghormati sumber kehidupan kita. Membersihkan sungai dari sampah dan limbah adalah bentuk penghormatan kepada alam dan sejarah kita. Mengembalikan kejernihan airnya adalah usaha untuk memulihkan kejernihan hati dan pikiran kita. Dalam setiap tetes air yang kembali bersih, ada refleksi dari niat baik dan kesadaran akan pentingnya identitas sejati kita.
 
Mari kita bergandengan tangan, seperti aliran sungai yang tak terputus, untuk merawat dan menjaga sungai-sungai kita. Biarkan air yang mengalir membawa pesan cinta dan kepedulian kita kepada generasi mendatang. Sebab, sungai bukan hanya mengalirkan air, tetapi juga harapan, kehidupan, dan jati diri kita yang abadi. Dengan merawat sungai, kita mengingat dan merayakan siapa diri kita sebenarnya, sebagai bagian tak terpisahkan dari alam dan sejarah yang agung.

batulayang, 20 Juni 2024

Tag : ,

KUASA TAK BERMODAL MORAL

By : kontributor


 Panggung Pencitraan Politik di Indonesia
Penjabaran
TAK BERMODAL
Oleh : salcenter.id


Di tengah hiruk pikuk jalanan Indonesia, panggung gratis tersedia bagi para politisi untuk menari-nari dengan sorotan publik. Mereka hadir dengan senyum lebar di balik peci hitam, mengekspresikan beragam pose tangan yang serba gaya rekaan padahal itu adalah iklan! Namun, di balik semua pencitraan ini, ada sesuatu yang lebih dalam yang perlu kita renungkan.


Panggung ini, bukan sekadar tempat untuk berbicara tentang aspirasi dan kebijakan yang seharusnya melayani rakyat. Ini lebih mirip panggung sandiwara, di mana para aktor politik tampil lima tahun sekali untuk "mengabdi" dengan diam diri, tanpa lebih dari sekadar ceramah kosong yang tidak diiringi tindakan nyata.


Mereka, para pemain di panggung ini, seolah-olah meminta empati layaknya pengemis di tengah keramaian. Mereka ingin suara kita, tapi apa yang sebenarnya mereka perjuangkan? Di atas singgasana empuk, mereka dikelilingi oleh todongan kanan dan kiri, bisa terlelap dalam kemewahan sementara rakyat di bawahnya terus berjuang untuk mencari nafkah.


Lihatlah sekeliling, dari tiang listrik hingga pohon-pohon yang menjadi saksi bisu dari panggung politik ini. Mereka juga menjadi mangsa dari para badut politik yang haus akan kekuasaan dan kursi. Pos, mushola, bahkan sekolah-sekolah pun tidak luput dari pengaruh mereka yang hanya melihat setiap tempat sebagai aset untuk mengeruk suara dan mempertahankan kekuasaan dan pajangan poster ajakanpun mereka sebarkan tanpa memiliki empati dan melihat tempat di mana mereka harus promosi. 


Kita, sebagai masyarakat, perlu menyadari bahwa panggung ini seharusnya adalah tempat untuk menyuarakan kepentingan rakyat, bukan sekadar alat peraga dan propaganda. Kita tidak boleh lagi terpedaya oleh pencitraan kosong yang tidak diimbangi dengan tindakan nyata yang berdampak positif bagi kehidupan kita sehari-hari. Mari bersama-sama mengubah panggung ini menjadi ruang yang sejati untuk perwakilan dan pelayanan masyarakat, panggung disini adalah panggung yang selayaknya memanggung diri melalui selebaran elok di tempat yang tanpa harus merusak.

Tag : ,

- Copyright © salcenter.id - salcente.id - Powered by Blogger - Designed by salcenter -