Archive for Desember 2024
PENJUAL AYAT TUHAN
By : kontributorPENJUAL AYAT TUHAN
Dakwah atau Dagang?
oleh : salcenter
Dakwah, seharusnya cahaya yang membakar,
Membimbing jiwa ke jalan-Nya yang terang.
Namun kini, cahaya itu terpadamkan,
Menjadi komoditas, dijual untuk keuntungan.
Panggung agama kini bukan lagi tempat suci,
Tapi arena dagang, jual beli hati.
Umat jadi sapi perah, dana dikumpulkan,
Bukan untuk kebaikan, melainkan untuk kemewahan.
Mobil mewah, rumah besar, liburan mewah,
Dakwah jadi bisnis, dan Tuhan jadi alat.
Para agamawan, dengan gaya borjuis,
Menghitung uang, lupa mengurusi yang miskin.
Ceramah, yang dulu mengalirkan kedamaian,
Sekarang hanya omong kosong penuh kebencian.
Kata-kata hina, umpatan tak terkendali,
Merusak agama, membuat umat terpecah, bingung dan kalut.
Dakwah yang dulu penuh hikmah dan kasih,
Kini penuh dengan amoralitas yang memuakkan.
Menghina, mencaci, merendahkan sesama,
Mereka yang seharusnya menjadi teladan malah jadi pelaku kebodohan.
Wahai pemimpin agama, lihatlah dirimu,
Bukan untuk ketenaran, bukan untuk harta yang semu.
Kembali pada esensi yang pernah kau pegang,
Bawa umat kepada kebaikan, bukan ke dalam jurang.
Apakah agama ini milikmu? Ataukah milik kami?
Apakah Tuhan rela diperdagangkan dengan harga murah?
Dakwah bukan untuk nama, bukan untuk harta,
Tapi untuk kebaikan, untuk kedamaian dunia dan akhirat.
Jangan biarkan agama jadi lelucon,
Jangan biarkan dakwah jadi ajang permainan.
Tegakkan kejujuran, kesederhanaan,
Bukan kemewahan yang menyesatkan umat dalam kebingungannya.
PENGOBRAL MURAH AYAT TUHAN
By : kontributorMenggugat Komersialisasi Dakwah: Ketika Agama Tergerus oleh Kepentingan Pribadi dan Perilaku yang Merusak (Paradoks)
oleh : salcenter
Agama, yang sejatinya merupakan pedoman hidup yang membawa kedamaian dan kebaikan, kini semakin tergerus oleh perilaku oknum-oknum agamawan yang menjadikannya panggung untuk kepentingan pribadi. Tak hanya dalam hal komersialisasi dakwah, tetapi juga dalam perilaku yang jauh dari ajaran agama itu sendiri. Beberapa tokoh agama kini tak ragu merendahkan umat dengan cara-cara yang tidak mencerminkan kewibawaan seorang pemimpin spiritual, bahkan menggunakan narasi kasar, hinaan, dan perkataan yang tidak pantas dalam ceramah mereka. Sungguh ironis, ketika seharusnya agama mendatangkan kedamaian, yang terjadi malah kebencian, kebisingan, dan ketidaknyamanan.
Dakwah yang Tergerus: Bisnis dan Gaya Hidup Borjuis
Panggung dakwah yang dulu menjadi sarana untuk memperbaiki moral dan mendekatkan umat pada Tuhan kini sering kali dimanfaatkan untuk meraup keuntungan pribadi. Laporan dari Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PSAD) pada 2022 menyebutkan bahwa lebih dari 50% lembaga dakwah di Indonesia kini terlibat dalam penggalangan dana yang lebih fokus pada keuntungan material daripada memberi manfaat bagi umat. Dana yang dihimpun sering kali tidak dipergunakan untuk kesejahteraan umat, melainkan untuk memperbesar aset pribadi, seperti membeli mobil mewah, rumah besar, dan bahkan berinvestasi pada bisnis pribadi.
Sebuah studi dari Jurnal Keuangan Islam (2021) juga mencatat bahwa sekitar 60% dana yang terkumpul dari umat digunakan untuk kepentingan pribadi para oknum pengurus dakwah, bukannya untuk proyek sosial atau pemberdayaan masyarakat. Fenomena ini mencerminkan betapa jauhnya dakwah telah melenceng dari tujuannya, di mana yang semula diharapkan untuk membimbing umat kepada kehidupan yang lebih baik, justru kini terperangkap dalam siklus konsumtif dan materialistik.
Perilaku Merendahkan dan Umpatan dalam Dakwah (Amoralitas)
Namun, yang lebih memprihatinkan lagi adalah perilaku oknum-oknum agamawan yang semakin hari semakin memperburuk citra agama dengan cara-cara yang tidak mencerminkan kewibawaan seorang pemimpin spiritual. Alih-alih mengedepankan kesantunan, kedamaian, dan kebijaksanaan, beberapa pengkotbah malah menggunakan ceramah mereka sebagai ajang untuk melampiaskan kemarahan, membuli, atau bahkan menghinakan orang lain.
Tidak jarang kita mendengar ceramah-ceramah yang dipenuhi dengan umpatan, hinaan, dan narasi kasar yang menyudutkan kelompok tertentu. Penggunaan kata-kata yang merendahkan, baik itu terkait dengan fisik, agama lain, atau pandangan berbeda, menjadi hal yang sering terdengar dalam ceramah mereka. Ini jelas bertentangan dengan ajaran agama yang mengedepankan kasih sayang dan menghormati perbedaan. Bahkan dalam sebuah ceramah yang viral baru-baru ini, seorang tokoh agama menggunakan kata-kata kasar dan hinaan untuk menggambarkan kelompok yang tidak sejalan dengan pandangannya. Ini bukan hanya merendahkan kelompok yang dituju, tetapi juga menciptakan ketegangan dan kebencian antar umat. Lain lagi cerita tentang berita yang viral adanya perilaku oknum pendakwah yang merendahkan martabat pedagang ES sungguh sangat miris dan menyayat hati kita.
Lebih parahnya lagi, beberapa tokoh agama yang seharusnya menjadi contoh teladan justru memperagakan perilaku yang tak mencerminkan kewibawaan dan kehormatan seorang agamawan. Gerakan-gerakan yang tak pantas, seperti berteriak keras, berkelakuan kasar, bahkan menggunakan tubuh dengan cara yang agresif, kini sering kita saksikan dalam ceramah-ceramah mereka. Hal ini tentu saja merusak citra agama, karena seorang pemimpin agama seharusnya membawa ketenangan dan kedamaian, bukan ketegangan dan kekacauan.
Gaya Hidup Borjuis dan Pengabaian terhadap Umat
Sementara itu, tak sedikit oknum agamawan yang lebih sibuk memamerkan gaya hidup borjuis mereka di media sosial, memamerkan mobil mewah, rumah besar, dan liburan ke luar negeri. Padahal, ajaran agama mengajarkan kita untuk hidup sederhana dan berbagi dengan sesama, terutama dengan mereka yang kurang mampu. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 45% tokoh agama di Indonesia yang memiliki pengikut besar kini terlibat dalam gaya hidup borjuis dan lebih fokus pada keuntungan pribadi daripada kesejahteraan umat. Hal ini tentu sangat jauh dari teladan Nabi Muhammad SAW, yang hidup dengan penuh kesederhanaan dan selalu peduli terhadap sesama.
Sebuah laporan dari Komnas HAM pada 2022 mencatat bahwa sekitar 42% masyarakat merasa bahwa tokoh agama yang mereka ikuti lebih mementingkan gaya hidup pribadi dan popularitas dibandingkan dengan membantu masyarakat yang membutuhkan. Ini merupakan bentuk pengabaian terhadap mereka yang sedang kesulitan, sementara tokoh agama yang seharusnya menjadi contoh malah lebih sibuk dengan urusan pribadi mereka.
Mengembalikan Dakwah pada Esensinya
Tentu, dakwah harus kembali kepada esensinya. Para tokoh agama perlu mengingatkan diri mereka tentang tujuan dakwah yang sesungguhnya: bukan untuk mencari keuntungan pribadi atau popularitas, tetapi untuk membawa umat menuju kehidupan yang lebih baik, lebih adil, dan lebih penuh kasih. Dakwah harus mampu menginspirasi umat untuk hidup dalam kedamaian, saling menghormati, dan peduli terhadap sesama, bukan sebaliknya, menyebarkan kebencian, perpecahan, dan ketidakpedulian.
Sebagai umat, kita juga memiliki peran penting untuk menjaga agar dakwah tetap berada pada jalur yang benar. Dalam laporan Majelis Ulama Indonesia (MUI) 2023, disarankan agar para tokoh agama lebih fokus pada transparansi pengelolaan dana dakwah, serta mengutamakan kegiatan sosial yang benar-benar bermanfaat bagi umat. Bukan hanya itu, mereka juga harus memberikan contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari: hidup sederhana, rendah hati, dan penuh kasih sayang.
Menjaga Marwah Agama
Dakwah bukanlah sarana untuk meraih keuntungan atau ketenaran pribadi. Dakwah adalah amanah yang harus dijaga dengan integritas dan kesederhanaan. Sudah saatnya kita, sebagai umat, menuntut agar para pemimpin agama kembali kepada ajaran yang sesungguhnya: menghargai perbedaan, mengedepankan kasih sayang, dan hidup dalam kesederhanaan. Dengan begitu, dakwah akan kembali menjadi jalan yang membawa umat kepada kehidupan yang lebih baik, dan agama tidak tergerus oleh perilaku buruk yang merusak citranya.
Kita perlu berani mengingatkan, karena agama adalah milik umat, bukan milik segelintir orang yang mengejar keuntungan pribadi. Jika kita bisa kembali kepada esensi dakwah yang sebenarnya, kita akan melihat bagaimana agama bisa menjadi pemandu hidup yang sejati, bukan hanya sekadar alat untuk kepentingan tertentu.
Referensi:
- Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PSAD), "Komersialisasi Dakwah dan Implikasinya terhadap Sosial Keagamaan di Indonesia," Laporan Tahunan 2022.
- Jurnal Keuangan Islam, "Penggunaan Dana Dakwah di Indonesia: Sebuah Analisis Keuangan," 2021.
- Institute for Islamic Studies (IIS), "Dakwah dan Gaya Hidup Agamawan: Antara Kepedulian dan Konsumerisme," 2023.
- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), "Survei Kepedulian Sosial Tokoh Agama terhadap Masyarakat," 2022.
- Majelis Ulama Indonesia (MUI), "Transparansi Dana Dakwah: Menjaga Integritas dan Amanah," 2023.