Archive for 2024
PENJUAL AYAT TUHAN
By : kontributorPENJUAL AYAT TUHAN
Dakwah atau Dagang?
oleh : salcenter
Dakwah, seharusnya cahaya yang membakar,
Membimbing jiwa ke jalan-Nya yang terang.
Namun kini, cahaya itu terpadamkan,
Menjadi komoditas, dijual untuk keuntungan.
Panggung agama kini bukan lagi tempat suci,
Tapi arena dagang, jual beli hati.
Umat jadi sapi perah, dana dikumpulkan,
Bukan untuk kebaikan, melainkan untuk kemewahan.
Mobil mewah, rumah besar, liburan mewah,
Dakwah jadi bisnis, dan Tuhan jadi alat.
Para agamawan, dengan gaya borjuis,
Menghitung uang, lupa mengurusi yang miskin.
Ceramah, yang dulu mengalirkan kedamaian,
Sekarang hanya omong kosong penuh kebencian.
Kata-kata hina, umpatan tak terkendali,
Merusak agama, membuat umat terpecah, bingung dan kalut.
Dakwah yang dulu penuh hikmah dan kasih,
Kini penuh dengan amoralitas yang memuakkan.
Menghina, mencaci, merendahkan sesama,
Mereka yang seharusnya menjadi teladan malah jadi pelaku kebodohan.
Wahai pemimpin agama, lihatlah dirimu,
Bukan untuk ketenaran, bukan untuk harta yang semu.
Kembali pada esensi yang pernah kau pegang,
Bawa umat kepada kebaikan, bukan ke dalam jurang.
Apakah agama ini milikmu? Ataukah milik kami?
Apakah Tuhan rela diperdagangkan dengan harga murah?
Dakwah bukan untuk nama, bukan untuk harta,
Tapi untuk kebaikan, untuk kedamaian dunia dan akhirat.
Jangan biarkan agama jadi lelucon,
Jangan biarkan dakwah jadi ajang permainan.
Tegakkan kejujuran, kesederhanaan,
Bukan kemewahan yang menyesatkan umat dalam kebingungannya.
PENGOBRAL MURAH AYAT TUHAN
By : kontributorMenggugat Komersialisasi Dakwah: Ketika Agama Tergerus oleh Kepentingan Pribadi dan Perilaku yang Merusak (Paradoks)
oleh : salcenter
Agama, yang sejatinya merupakan pedoman hidup yang membawa kedamaian dan kebaikan, kini semakin tergerus oleh perilaku oknum-oknum agamawan yang menjadikannya panggung untuk kepentingan pribadi. Tak hanya dalam hal komersialisasi dakwah, tetapi juga dalam perilaku yang jauh dari ajaran agama itu sendiri. Beberapa tokoh agama kini tak ragu merendahkan umat dengan cara-cara yang tidak mencerminkan kewibawaan seorang pemimpin spiritual, bahkan menggunakan narasi kasar, hinaan, dan perkataan yang tidak pantas dalam ceramah mereka. Sungguh ironis, ketika seharusnya agama mendatangkan kedamaian, yang terjadi malah kebencian, kebisingan, dan ketidaknyamanan.
Dakwah yang Tergerus: Bisnis dan Gaya Hidup Borjuis
Panggung dakwah yang dulu menjadi sarana untuk memperbaiki moral dan mendekatkan umat pada Tuhan kini sering kali dimanfaatkan untuk meraup keuntungan pribadi. Laporan dari Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PSAD) pada 2022 menyebutkan bahwa lebih dari 50% lembaga dakwah di Indonesia kini terlibat dalam penggalangan dana yang lebih fokus pada keuntungan material daripada memberi manfaat bagi umat. Dana yang dihimpun sering kali tidak dipergunakan untuk kesejahteraan umat, melainkan untuk memperbesar aset pribadi, seperti membeli mobil mewah, rumah besar, dan bahkan berinvestasi pada bisnis pribadi.
Sebuah studi dari Jurnal Keuangan Islam (2021) juga mencatat bahwa sekitar 60% dana yang terkumpul dari umat digunakan untuk kepentingan pribadi para oknum pengurus dakwah, bukannya untuk proyek sosial atau pemberdayaan masyarakat. Fenomena ini mencerminkan betapa jauhnya dakwah telah melenceng dari tujuannya, di mana yang semula diharapkan untuk membimbing umat kepada kehidupan yang lebih baik, justru kini terperangkap dalam siklus konsumtif dan materialistik.
Perilaku Merendahkan dan Umpatan dalam Dakwah (Amoralitas)
Namun, yang lebih memprihatinkan lagi adalah perilaku oknum-oknum agamawan yang semakin hari semakin memperburuk citra agama dengan cara-cara yang tidak mencerminkan kewibawaan seorang pemimpin spiritual. Alih-alih mengedepankan kesantunan, kedamaian, dan kebijaksanaan, beberapa pengkotbah malah menggunakan ceramah mereka sebagai ajang untuk melampiaskan kemarahan, membuli, atau bahkan menghinakan orang lain.
Tidak jarang kita mendengar ceramah-ceramah yang dipenuhi dengan umpatan, hinaan, dan narasi kasar yang menyudutkan kelompok tertentu. Penggunaan kata-kata yang merendahkan, baik itu terkait dengan fisik, agama lain, atau pandangan berbeda, menjadi hal yang sering terdengar dalam ceramah mereka. Ini jelas bertentangan dengan ajaran agama yang mengedepankan kasih sayang dan menghormati perbedaan. Bahkan dalam sebuah ceramah yang viral baru-baru ini, seorang tokoh agama menggunakan kata-kata kasar dan hinaan untuk menggambarkan kelompok yang tidak sejalan dengan pandangannya. Ini bukan hanya merendahkan kelompok yang dituju, tetapi juga menciptakan ketegangan dan kebencian antar umat. Lain lagi cerita tentang berita yang viral adanya perilaku oknum pendakwah yang merendahkan martabat pedagang ES sungguh sangat miris dan menyayat hati kita.
Lebih parahnya lagi, beberapa tokoh agama yang seharusnya menjadi contoh teladan justru memperagakan perilaku yang tak mencerminkan kewibawaan dan kehormatan seorang agamawan. Gerakan-gerakan yang tak pantas, seperti berteriak keras, berkelakuan kasar, bahkan menggunakan tubuh dengan cara yang agresif, kini sering kita saksikan dalam ceramah-ceramah mereka. Hal ini tentu saja merusak citra agama, karena seorang pemimpin agama seharusnya membawa ketenangan dan kedamaian, bukan ketegangan dan kekacauan.
Gaya Hidup Borjuis dan Pengabaian terhadap Umat
Sementara itu, tak sedikit oknum agamawan yang lebih sibuk memamerkan gaya hidup borjuis mereka di media sosial, memamerkan mobil mewah, rumah besar, dan liburan ke luar negeri. Padahal, ajaran agama mengajarkan kita untuk hidup sederhana dan berbagi dengan sesama, terutama dengan mereka yang kurang mampu. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 45% tokoh agama di Indonesia yang memiliki pengikut besar kini terlibat dalam gaya hidup borjuis dan lebih fokus pada keuntungan pribadi daripada kesejahteraan umat. Hal ini tentu sangat jauh dari teladan Nabi Muhammad SAW, yang hidup dengan penuh kesederhanaan dan selalu peduli terhadap sesama.
Sebuah laporan dari Komnas HAM pada 2022 mencatat bahwa sekitar 42% masyarakat merasa bahwa tokoh agama yang mereka ikuti lebih mementingkan gaya hidup pribadi dan popularitas dibandingkan dengan membantu masyarakat yang membutuhkan. Ini merupakan bentuk pengabaian terhadap mereka yang sedang kesulitan, sementara tokoh agama yang seharusnya menjadi contoh malah lebih sibuk dengan urusan pribadi mereka.
Mengembalikan Dakwah pada Esensinya
Tentu, dakwah harus kembali kepada esensinya. Para tokoh agama perlu mengingatkan diri mereka tentang tujuan dakwah yang sesungguhnya: bukan untuk mencari keuntungan pribadi atau popularitas, tetapi untuk membawa umat menuju kehidupan yang lebih baik, lebih adil, dan lebih penuh kasih. Dakwah harus mampu menginspirasi umat untuk hidup dalam kedamaian, saling menghormati, dan peduli terhadap sesama, bukan sebaliknya, menyebarkan kebencian, perpecahan, dan ketidakpedulian.
Sebagai umat, kita juga memiliki peran penting untuk menjaga agar dakwah tetap berada pada jalur yang benar. Dalam laporan Majelis Ulama Indonesia (MUI) 2023, disarankan agar para tokoh agama lebih fokus pada transparansi pengelolaan dana dakwah, serta mengutamakan kegiatan sosial yang benar-benar bermanfaat bagi umat. Bukan hanya itu, mereka juga harus memberikan contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari: hidup sederhana, rendah hati, dan penuh kasih sayang.
Menjaga Marwah Agama
Dakwah bukanlah sarana untuk meraih keuntungan atau ketenaran pribadi. Dakwah adalah amanah yang harus dijaga dengan integritas dan kesederhanaan. Sudah saatnya kita, sebagai umat, menuntut agar para pemimpin agama kembali kepada ajaran yang sesungguhnya: menghargai perbedaan, mengedepankan kasih sayang, dan hidup dalam kesederhanaan. Dengan begitu, dakwah akan kembali menjadi jalan yang membawa umat kepada kehidupan yang lebih baik, dan agama tidak tergerus oleh perilaku buruk yang merusak citranya.
Kita perlu berani mengingatkan, karena agama adalah milik umat, bukan milik segelintir orang yang mengejar keuntungan pribadi. Jika kita bisa kembali kepada esensi dakwah yang sebenarnya, kita akan melihat bagaimana agama bisa menjadi pemandu hidup yang sejati, bukan hanya sekadar alat untuk kepentingan tertentu.
Referensi:
- Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PSAD), "Komersialisasi Dakwah dan Implikasinya terhadap Sosial Keagamaan di Indonesia," Laporan Tahunan 2022.
- Jurnal Keuangan Islam, "Penggunaan Dana Dakwah di Indonesia: Sebuah Analisis Keuangan," 2021.
- Institute for Islamic Studies (IIS), "Dakwah dan Gaya Hidup Agamawan: Antara Kepedulian dan Konsumerisme," 2023.
- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), "Survei Kepedulian Sosial Tokoh Agama terhadap Masyarakat," 2022.
- Majelis Ulama Indonesia (MUI), "Transparansi Dana Dakwah: Menjaga Integritas dan Amanah," 2023.
MONOLOG CAHAYA
By : kontributorCAHAYA Oleh: salcenter
Ca-Haya
Cahaya bukan sekadar sinar yang memancar dalam ruang hampa.
Ia adalah cara kita membaca bayang-bayang,
Mengubah yang tak terlihat menjadi nyata dan rasional.
Bukan sekadar pandangan fana,
Tetapi sebuah perwujudan yang menggugah jiwa,
Menyentuh kehadiran yang tak kasat mata.
Ca-Haya
Membaca hayalan melalui cahaya,
Melihat tidak hanya dengan mata,
Tetapi dengan hati dan pikiran.
Cahaya membimbing kita memahami yang abstrak,
Menjelmakan angan-angan menjadi nyata dalam benak kita.
Ia memecahkan misteri yang tak terungkap,
Menerangi pikiran yang gelap dan hati yang bimbang.
*Cahaya sebagai Metafora Kehidupan dan Pemikiran*
Cahaya, dalam pandangan mendalam, adalah lebih dari sekadar fenomena alam. Ia adalah metafora yang kaya, yang menantang kita untuk melihat dunia dari berbagai perspektif. Apakah kita pernah berpikir bahwa cahaya bisa menjadi jembatan yang menghubungkan yang nyata dengan yang tak nyata? Ia tidak hanya menerangi ruang, tetapi juga mengarahkan pikiran kita untuk menjelajahi kedalaman makna.
Bayangkan jika kita melihat cahaya tidak hanya sebagai sumber penerangan fisik, tetapi sebagai simbol pencerahan batin. Ia bisa menjadi cerminan dari pemahaman yang tiba-tiba muncul setelah lama bergumul dalam kegelapan. Seperti saat kita meraba dalam kegelapan, kemudian seberkas cahaya muncul dan membuka jalan baru, demikian juga dalam hidup, cahaya sering muncul dalam bentuk ide, inspirasi, atau kesadaran yang membawa kita menuju pemahaman yang lebih dalam.
Cahaya bisa diumpamakan sebagai perjalanan dari ketidaktahuan menuju pengetahuan. Ia mengajarkan kita bahwa pemahaman tidak datang sekaligus, tetapi melalui proses bertahap, dari kegelapan menuju terang. Dalam setiap aspek kehidupan, cahaya menawarkan kita cara untuk melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang berbeda—bukan hanya dari apa yang terlihat, tetapi juga dari apa yang terasa, yang dipahami secara intuitif.
Marilah kita bersama-sama membuka diri untuk memahami cahaya dari berbagai sisi. Ia tidak harus selalu berbentuk sinar yang memancar, tetapi bisa menjadi representasi dari pemikiran yang terbuka, dari kesadaran yang tumbuh, dan dari kebenaran yang terungkap. Cahaya bisa menjadi simbol dari apa yang kita cari dalam kehidupan: pencerahan, kejelasan, dan pemahaman.
Dalam setiap tindakan dan pemikiran kita, biarkan cahaya menjadi panduan. Anggaplah ia sebagai simbol dari harapan yang terus menerus menyala, yang memberikan kita kekuatan untuk terus maju, meskipun dalam ketidakpastian. Dengan memahami cahaya dari berbagai perspektif, kita dapat menemukan makna yang lebih kaya, yang tidak hanya memperkaya diri kita, tetapi juga membimbing kita menuju kehidupan yang lebih terang dan penuh makna.
SUNGAI NADI HIDUP TERLUPAKAN
By : kontributorDi tengah gemuruh kehidupan modern yang berkilau, ada satu elemen alami yang sering kali terlupakan, tersembunyi di balik bayang-bayang beton dan kaca. Sungai, sang pembawa arus kehidupan, perlahan merana di tengah hiruk-pikuk peradaban. Padahal, sungai adalah saksi bisu perjalanan manusia, mencerminkan jati diri dan sejarah kita yang kaya. Mengabaikan sungai sama dengan mengabaikan asal muasal kita, tempat di mana identitas sejati terbentuk.
batulayang, 20 Juni 2024
KUASA TAK BERMODAL MORAL
By : kontributorPenjabaran TAK BERMODAL
Oleh : salcenter.id
Di tengah hiruk pikuk jalanan Indonesia, panggung gratis tersedia bagi para politisi untuk menari-nari dengan sorotan publik. Mereka hadir dengan senyum lebar di balik peci hitam, mengekspresikan beragam pose tangan yang serba gaya rekaan padahal itu adalah iklan! Namun, di balik semua pencitraan ini, ada sesuatu yang lebih dalam yang perlu kita renungkan.
Panggung ini, bukan sekadar tempat untuk berbicara tentang aspirasi dan kebijakan yang seharusnya melayani rakyat. Ini lebih mirip panggung sandiwara, di mana para aktor politik tampil lima tahun sekali untuk "mengabdi" dengan diam diri, tanpa lebih dari sekadar ceramah kosong yang tidak diiringi tindakan nyata.
Mereka, para pemain di panggung ini, seolah-olah meminta empati layaknya pengemis di tengah keramaian. Mereka ingin suara kita, tapi apa yang sebenarnya mereka perjuangkan? Di atas singgasana empuk, mereka dikelilingi oleh todongan kanan dan kiri, bisa terlelap dalam kemewahan sementara rakyat di bawahnya terus berjuang untuk mencari nafkah.
Lihatlah sekeliling, dari tiang listrik hingga pohon-pohon yang menjadi saksi bisu dari panggung politik ini. Mereka juga menjadi mangsa dari para badut politik yang haus akan kekuasaan dan kursi. Pos, mushola, bahkan sekolah-sekolah pun tidak luput dari pengaruh mereka yang hanya melihat setiap tempat sebagai aset untuk mengeruk suara dan mempertahankan kekuasaan dan pajangan poster ajakanpun mereka sebarkan tanpa memiliki empati dan melihat tempat di mana mereka harus promosi.
Kita, sebagai masyarakat, perlu menyadari bahwa panggung ini seharusnya adalah tempat untuk menyuarakan kepentingan rakyat, bukan sekadar alat peraga dan propaganda. Kita tidak boleh lagi terpedaya oleh pencitraan kosong yang tidak diimbangi dengan tindakan nyata yang berdampak positif bagi kehidupan kita sehari-hari. Mari bersama-sama mengubah panggung ini menjadi ruang yang sejati untuk perwakilan dan pelayanan masyarakat, panggung disini adalah panggung yang selayaknya memanggung diri melalui selebaran elok di tempat yang tanpa harus merusak.
KESEDIRAN DI LEUWI SANTRI
By : kontributorOleh : salcenter.id
Kepasrahan yang tiada batas, yang sudah terlewati dengan beragam ujian ruhani dan lahiriah dari proses demi proses yang sangat sukar dan terasa melelahkan, telah menempa diri. Hingga pada akhirnya, proses demikian itu pula yang membuat rasa takut pada dimensi lain hilang.
Dalam satu momen yang mungkin bisa dikatakan menjadi bagian alur cerita tentang Spiritual Awakening atau efek kebangkitan spiritual adalah pengalaman menyendiri di sebuah tempat yang konon menyimpan ragam cerita dan mitos di Puncak, Bogor.
Selama 12 jam lamanya, duduk di atas batu di sebuah leuwi bernama Kali Ci Esek, atau tepatnya Leuwi Santri, yang dimulai dari pukul 8 malam hingga 8 pagi. Duduknya di atas batu besar bukanlah maksud bertapa, tapi sekadar mancing; namun, memancing pun seperti hanya formalitas saja. Mungkin lebih tepatnya, keinginan menyendiri untuk meresapi apa yang Allah ciptakan. Sambil menyalakan sebatang rokok, segelas kopi cup yang dibawa diminum dengan nikmat, dengan setiap sisi sungai yang sebagian gelap dan sebagian terang oleh rumah warga dari kejauhan.
Mitos tentang keberadaan jin atau siluman di tempat tersebut pun tidak terbersit sedikit pun. Rasa takut sebagai manusia memang wajar, tapi ketakutan itu hanya seperti bayangan dan seperti berada di ujung kuku; tidak terasa dan tidak memberikan pengaruh sedikit pun. Yang ada hanyalah keinginan untuk melanjutkan duduk terdiam, menikmati semilir angin di malam hari. Pada saat-saat seperti itu, selalu muncul pemikiran, "Bahwa segalanya ada yang mengatur. Raga dan batin ini adalah milik Sang Khalik, maka tidak ada yang lain yang lebih berhak mengatur selain Dia yang menciptakan diri, alam, dan makhluk-Nya."
Ular hitam yang jatuh di depan kaki pun, yang membuat sedikit terkejut, tidak ada niat sedikit pun untuk melukai atau membunuhnya. Mulutku hanya berkata, "Pergilah, kita hidup di antara alam yang diatur oleh-Nya. Kembalilah dan takutlah pada yang menciptakanmu." Entah kenapa, berlalu ular itu pergi begitu saja, hingga aku kembali menikmati sepoy angin di malam hari. Selama menikmati kesendirian itu, hanya keheningan malam dan suara gemercik air serta sesekali suara burung hantu di atas pepohonan yang rimbun.
Momen kesendirian ini menjadi kesempatan berharga untuk menyelami seluruh isi yang ada dalam jangkauan intuisi. Bergetar serasa ada vibrasi energi yang menyapa oleh lembutnya desiran angin yang merangsek masuk ke sekitaran badan di bagian punggung, terasa adem dan sesekali hangat. Dalam keadaan itu, tergoncang pikiranku mengucapkan lafadz La Ilaha Illallah dan Astagfirullah. Aku sadar aku sedang di mana, ini bukan tempat di mana berkumpulnya orang-orang melantunkan dzikir asma-asma Tuhan Allah SWT. Aku sadar ini tempat di mana aku sedang dalam dan sedang pada proses menyelami dan menjemput penerimaan alam untuk menyatu merasakan sensasi hawa energi laksana perahu yang mendayu-dayu.
Cerita ini bukan tentang keangkuhan “keakuan, akulah aku”. Tulisan mengalir begitu saja tentang telahnya aku merasakan dan pernah masuk pada fase ini. Ini bukan pula cerita mistis atau khayalan. Inilah kisahku yang terbaitkan dalam alur tulisan yang berparagraf dengan beberapa alinea. Ini tentang fase di mana hampir atau sebagian orang mungkin pernah merasakan sama di tempat dan momen berbeda.
Singkat cerita dan kembali menyelami situasi seperti penggambaran tadi. Aku tetap duduk dengan berbagai posisi dan sesekali berpindah dari satu batu ke batu lainnya untuk menyepi menyendiri dengan nalar rasional bahwa saat itu memang sendiri, tiada teman, dan memang seperti sedang ditemani. Tiada melihat tapi seakan menjadi pusat perhatian dari keramaian yang abstrak. Tak ada rasa panik, tak ada rasa gelisah, semua mengalir, menyatu menyesuaikan diri menjadi bagian dari alam. Jika pun ada yang hadir pada waktu itu tanpa bisa aku lihat, mungkin sedang asyiknya memandang, atau sedang memang sama-sama merasakan keheningan alam. Namun, itulah realitas yang terjadi. Kita seperti dan dalam keadaan seperti, dan seperti masuk dalam ranah sugesti. Sampailah akhirnya, tak terasa di pukul 4.30, kumandang adzan berkumandang, dan ayam pun mulai bersahutan menyongsong fajar pagi.
BUIH RINDU TAK BERTEPI
By : kontributorKAMU DAN POSESIFITAS
By : kontributorCANDU PILRES
By : kontributorSatu Minggu telah berlalu, daku resah tanpa bisa berlalu, saat rekan satu meja harapan, masih berkubang dendam beda pilihan.
Aah, candu itu memang sulit dan terasa pahit, sesulit ketika toa berdengung didepan telinganya minta menyudahi. Aku membaca tutur kata kalimat itu teramat liar, seliar hutan rimba yang tanpa ujung dan ngarai.
Padahal pesta telah usai, tapi ramainya belumlah selesai. Beberapa di antara masih ada yang terbuai, pikiran terbungkus dan terkungkung oleh keengganan akui kenyataan.
Satu hari itu memang jadi pilihan penentu, kemana tiap-tiap kita melangkah akan dibawa kemana, tapi toh ini bukan dalam persoalan yang subtansial karena sesungguhnya kita masih mencari sesuap nasi dengan cara kita sendiri.
Biarlah, teman. Aku ajak kau berjalan, jika didepan jauh perlu kita langkahkan kaki sebab disekitar kita masih ada yang tersakiti, oleh keadaan, oleh kejamnya dunia, oleh adilnya yang sepihak. Tak harus jauh, didekat kita ada ketidak becusan terbiarkan.
Marilah, tengok. Siapa didepan, belakang, samping, kiri dan kanan, sudahkah kita tahu apa yang terjadi, karena bisa jadi yang didepan sedang menunggu perhatian. Sudahi candu pilpresmu karena bisa jadi itu fatamorgana saja, ada saatnya kita jalani sebenarnya, ada saatnya kita berhenti disini karena yang pasti-pasti sudah tentu sedang menunggu.
Kembalilah...
tetap berpijak disini ditempat ini kita ngopi lagi
-ciawi 23/2/2024
PARA ANASIR YANG MEMINIMALISIR
By : kontributorMateri yang disiarkan/dibagikan/broadcast secara berulang-ulang, baik berupa potongan video atau tulisan, meskipun kesahihan dari sumber tersebut masih abu-abu atau bahkan tidak jelas, tetap saja menjadi faktor yang mempengaruhi kehidupan masyarakat kita. Kita mungkin terdidik dari rangkaian ke engganan untuk menelisik lebih dalam tentang suatu keabsahan informasi.
Benar atau salah, itu selalu menjadi dinomer sekiankan. Yang terpenting adalah video/narasi tersebut menarik, membidik, dan menyerang dengan target mengelabui, mendownkan mental pendukung dari yang berlawanan. Ada yang lupa ataukah memang tidak sengaja menutup mata atau memang buta terbutakan oleh fanatisme yang mungkin saja isi didalamnya terbumbui berbagai rasa. Entah itu rasa ideologi, rasa kebersamaan pernah dalam satu naungan yang tidak berdasarkan ideologi, atau memang ada rasa lain bernama kepentingan kelompok dan golongannya.
Menurut saya, hal ini sangat memprihatinkan. Sebagai masyarakat yang cerdas, kita harus selalu berpikir kritis dan memverifikasi setiap informasi yang kita terima sebelum membagikannya ke orang lain. Kita harus memastikan bahwa informasi yang kita bagikan adalah benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini, media sosial dapat menjadi alat yang sangat efektif untuk menyebarkan informasi yang benar dan akurat, tetapi juga dapat menjadi alat yang sangat berbahaya jika digunakan dengan tidak benar. Oleh karena itu, kita harus selalu berhati-hati dan memastikan bahwa kita menggunakan media sosial dengan bijak.
Dalam hal ini, saya ingin menekankan pentingnya literasi media dan kritis dalam masyarakat kita. Kita harus memastikan bahwa masyarakat kita memiliki akses ke informasi yang benar dan akurat, dan bahwa mereka memiliki keterampilan yang diperlukan untuk memverifikasi informasi tersebut. Kita juga harus memastikan bahwa masyarakat kita memiliki minat baca yang tinggi dan bahwa mereka terus belajar dan berkembang sepanjang hidup mereka.
Dalam hal ini, saya ingin mengajak semua orang untuk menjadi bagian dari solusi. Mari kita semua berkomitmen untuk memerangi hoaks dan informasi palsu, dan untuk memastikan bahwa kita semua menggunakan media sosial dengan bijak. Mari kita semua menjadi konsumen informasi yang cerdas dan kritis, dan mari kita semua bekerja sama untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik dan lebih toleran.
oleh : portalcisaruainstitute
MEMANGGIL SATU TUJUAN
By : kontributor Menjaga Warisan Suci:
Sebuah Panggilan untuk Persatuan Dalam Satu Singgasana
(Penjabaran Sajak)
LEGENDA LANGIT
oleh : salcenter.id
Dalam perjalanan panjang sejarah, kita sering dihadapkan pada momen-momen krusial yang menentukan arah masa depan kita. Sebuah sajak tentang garuda yang mulai renta (Legenda Langit), banteng kecil, dan garuda-garuda lainnya yang saling berhadapan dalam tantangan dan perselisihan menawarkan refleksi mendalam tentang keadaan bangsa kita saat ini. Garuda, simbol kekuatan dan kebijaksanaan, kini tampak lelah dan renta, di antara banteng yang panik dan banteng-banteng lainya yang kelimpungan . Disisi lain, meski dengan bulu rontok garuda, ia tetap terbang gagah, mengajarkan kita pentingnya ketangguhan dan semangat pantang menyerah walaupun berkali-berkali pernah kalah bertarung ia tetap memiliki rasa optimisme mencapai batas-batas kemenangan dalam perjuangan.
Anak banteng kecil, yang dirawat dengan penuh kasih sayang di antara kumpulan banteng angkuh, melambangkan keinginan dan harapan dan masa depan. Garuda, yang bertepi di batu besar sebagai singgasananya, memiliki pandangan jauh ke depan. Ia sadar bahwa dirinya tak lagi mampu terbang sejauh dulu, dan titahnya kini diteruskan oleh keinginan ada sang penerus walaupun mungkin bisa saja diluar golonganya. Singkat waktu pada prosesnya Garuda juga mengasuh anak banteng, mempersiapkannya untuk terbang tinggi di langit biru. Ini menggambarkan pentingnya membimbing generasi muda untuk melanjutkan perjuangan dengan semangat yang sama walaupun ada jurang perbedaan.
Namun, dalam proses yang lebih luas, perselisihan tak terelakkan. Pertanyaan tentang siapa yang akan mengurus sangkar dan singgasana muncul, menciptakan ketegangan. Tetapi, meskipun saling diam dan akrab dalam tujuan yang sama, mereka bersatu dalam menghadapi tantangan. Mungkin pikirnya ketika Garuda akhirnya mangkat, meninggalkan banyak pertanyaan dan tanggung jawab besar kepada penerusnya. Banteng kecil yang sempat di asuh dan telah mendampingi kelak apakah mungkin mampu menjadi penerusnya dan mewujudkan apa yang menjadi impian dari garuda.
Banteng dan garuda yang awalnya meskipun bertengkar, sebenarnya berasal dari satu keturunan yang berkuasa. Konflik di antara mereka mencerminkan perbedaan pandangan dan pendekatan, namun di balik semua itu, mereka bersatu dan bersaudara. Ini mengajarkan kita bahwa dalam keberagaman dan perbedaan, selalu ada benang merah yang mengikat kita sebagai satu kesatuan.
Garuda mungkin telah hilang, namun banteng kecil tumbuh dengan jiwa yang kokoh dan garuda kecil dan banteng kecil lainnya yang legowo. Bersama, mereka menjaga warisan yang suci, yakni negeri ini. Dalam persatuan dan kebersamaan, kita menemukan kekuatan untuk menjaga dan melindungi warisan yang telah ditinggalkan oleh para pendahulunya.
Sebagai bangsa, kita harus belajar dari simbolisme garuda, banteng, dan bahakn ada penggambaran seperti banteng, dan rajawali (mungkin). Meski ada perbedaan dan perselisihan, kita harus tetap bersatu untuk menjaga warisan yang telah diwariskan kepada generasi selanjutnya. Persatuan adalah kunci untuk menghadapi segala tantangan yang ada di depan. Dengan bersatu, negeri ini akan terjaga, memastikan bahwa nilai-nilai luhur dan suci tetap hidup dan diwariskan kepada generasi mendatang.
Di tengah tantangan dan perbedaan, mari kita jadikan kisah garuda, banteng, dan pelaku lain dalam lakon sebagai inspirasi untuk terus bersatu dan bekerja sama. Kita semua memiliki peran penting dalam menjaga dan merawat negeri ini. Bersama, kita bisa mewujudkan masa depan yang lebih baik, penuh dengan harapan dan kebanggaan. Mari kita jaga warisan yang suci ini dengan semangat persatuan, kebersamaan diantara perbedaan pada akhirnya akan sama ketika sama-sama duduk dalam satu singgasana kekuasaan jika memang di awal adalah harapan mulia untuk menjayakan bangsa dan mensejahterakan rakyat di bawahnya dan bukan golonganya.
Puncak Bogor | 2 Januari 2024