Archive for 2023
BUNDA, BENDERANYA PUSAKA
By : kontributorPernah kita mendengar merah dan putih terpisah dirajut disatukan menjadi satu, jaman sebelum kita yang disini, saat ini membaca terlahir kedunia. Mungkin, ada banyak tafsir tentang warna pada waktu itu, sekalipun hanya berisikan dua warna menyambung jadi satu kibaran merah putih diantara barisan-barisan tubuh lusuh tanpa pernah mengeluh, ditengah lapangan atau diantara parit dengan teriakan merdeka-merdeka..
Mereka pemberontak!
Bagi tamu asing yang berkuasa, memenjarakan pribumi dengan dalih perlawanan pada penguasa. Ya! Penguasa masa itu berbaju putih menunggang kuda-kuda atau kuda besi pembawa mesiu yang siap dikokang kapan saja. Sang asing yang datang dari negeri berkecamuk peperangan singgah di Nusantara, mengadu domba perang saudara.
Ada banyak darah dan sisa tulang berserakan, leluhur kita disiksa, ditikam, dan dihabisi hingga mati. Berkeringat, perih mata mengedip, kulit yang teramat licin, otot yang sudah mungkin ribuan kali kram, memanggul bambu-bambu yang runcing, berlari-lari teriak seraya memekikkan lafadz takbir. Bangsa mana yang mau diperintah dan dijajah?
Duaaar....
Meriam meletus
di atas bukit koloni, sawah becek jadi arena perebutan kemenangan, pejuang
berteriak lantang, “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar!” Amarah itu sudah
memuncak, takut pun tak terpikirkan, ingin mati sudah pasti daripada pasrah
terjajah. Satu tekad melawan tanpa pertahanan, merebut merdeka berdaulat.
Di sebuah rumah menerawang ke halaman atau alun-alun kota, gemerlap itu belum terlihat dan terdengar, tapi sulaman bendera telah disiapkan. Bunda Fatma merajut, menyulam, dan menjahit jadi satu dengan ukuran dua kali tiga meter di sebuah ruang makan. Kala itu, Bunda Fatma mengandung sembilan bulan. Bunda dengan teliti dan hati-hati merapikan kain yang pada waktu itu serba terbatas. Berurai air mata, Bunda Fatma menjahit menyulam bendera, menangis menahan sesaknya rasa sakit. Bagaimana fase mencapai kemerdekaan harus banyak jiwa dikorbankan.
Dua hari Bunda Fatma bekerja keras menyelesaikan, di tengah kehamilannya yang sudah sembilan bulan. Tangannya masih saja menari-nari, matanya serius memandang setiap kaitan benang merapatkan barisan sulaman. Ini seperti filosofi bagaimana saling mengaitkan bersama sejajar akan saling menguatkan.
Bunda bahagia, ini bukan perkara karya tapi proses mengenalkan identitas bangsa. Sekian ratusan tahun akhirnya kita tahu bahwa merah dan putih jadi benderanya Indonesia. Hadir berkibar di deklarasi proklamasi.
Bengkulu menyemaikan sejarah Indonesia. Sebuah bendera lahir dari tangan seorang wanita, istri dari pada yang akhirnya menjadi sang proklamator. Setelah masa keterasingan, Bunda menorehkan sejarah pusaka. Benar! Sebuah bendera yang hanya miliki dua warna, namun saktinya mampu menyatukan Nusantara.
ASING JADI BISING
By : adminpenulisDisclaimer! Penulis bukan bagian dari pendukung salah satu Bacapres/Capres
SENJA DI KALI CIESEK
By : kontributorAda canda yang membuatku ingat, ketika kita duduk disenja sore hari. Rambut terurai harum tercium dengan keadaan kita yang semakin terbuai suasana. Wajahmu memerah ketika gelak tawa, ada asa seperti yang sudah lama di nanti-nanti.
Aku tak punya kuasa menolak ketika senda gurau itu datang, karena inilah momen yang mengisi kekosongan kita selama dari ketiadaan kita tidak bertemu yang cukup lama. Ketika padangan itu datang aku yang justru tersipu malu, entah mengapa aku menunduk tiada untaian kata selain merasa bahwa hari itu indah.
Saat itu gerimis mulai turun, angin menerpa tubuh yang terasa dingin ini, aku butuh peluk tidak hanya kamu, aku butuh dekapan tidak hanya sekedar berdekatan. Aku pikir kita sedang di mabuk cinta percintaan dimana pikiran terasa goyang oleh godaan.
Kala terang alam redup berganti menuju malam kita beranjak, bergeser meninggalkan tempat yang hari ini menjadi pelengkap coretan dan cerita. Aku masih ingat kita berdua bersenja-senja disore hari di pinggir kali Ci Esek Cisarua.
Dulu kita tidak sedekat ini, satu untaian satu kehidupan, bahkan tak pernah terbayang untuk merajut kebersamaan. Aku rasa ini sudah takdir, walaupun prosesnya getir. Kita maklumi tiap perjalanan manusia tak ada yang sama, namun bukan berarti tak satu tujuan.
Jika teringat dimasa kita merajut asmara, ada senyum dan pedih ketika pikiran terpancing ke masa lalu. Seperti inilah bumbu dari kehidupan setiap orang. Mungkin! semua memiliki kisah dimasa pencarian, tentang pelabuhan hati dan sandaran dan bukan sekedar keinginan.
-puncakbogor 2011-
OPINI DAN MORALITAS
By : kontributorAda batas waktu; pagi berakhir
siang, siang berakhir sore, sore berakhir malam, dan akhirnya malam pun kembali
berakhir menjadi pagi.
Tak ada generasi yang
menginginkan generasi selanjutnya menjalani kehidupan dengan berbagai hiperbola
yang mengandung umpatan merendahkan, terlebih umpatan tersebut terucap dari
manusia-manusia terpilih yang menjadi pusat perhatian.
Kita adalah manusia Timur, dengan
adat budaya dan agama yang menjunjung tinggi bagaimana menempatkan kesakralan
dalam penghormatan lintas kehidupan. Kita sepakat bahwa azas-azas penghormatan
bukan berarti harus mengkultuskan. Keberadaban adalah ketika kita mampu menjaga
dan menempatkan setiap yang ada pada tempatnya hingga bisa diwariskan kepada
yang selanjutnya.
Ungkapan yang berhiperbola lebih
dari konteks memiliki konsekuensi yang berbeda tergantung siapa yang
menarasikan. Jika yang menarasikan adalah masyarakat biasa yang tidak memiliki
jangkauan pengaruh, ungkapan tersebut memiliki 'sense' biasa saja. Namun,
narasi yang disampaikan oleh satu manusia dengan pengaruh luar biasa memiliki
implikasi yang juga luar biasa.
Side effect tiru-meniru terjadi
tidak hanya pada ruang privat tapi juga pada kehidupan publik. Hal ini
melunturkan keberadaban, mengikis rasa toleransi atau penghormatan, bahkan
puncaknya bisa saja membiaskan dogma-dogma agama yang mengajarkan tentang etika
kesantunan. Kita tidak ingin melihat kesemrawutan manusia dengan kehidupan
liar.
Sentimentil menjadi biasa,
ungkapan yang tidak lagi mengarah pada kapasitas tapi lebih ke personal dapat
membawa tatanan keadaban kita sebagai manusia menjadi lebih buruk. Bahkan lebih
dari itu, hal ini membunuh kebiasaan rasa batas kita sebagai manusia, merusak
dan merobek-robek nalar hingga bisa berakhir pada puncaknya meniadakan kita
dalam cara berpandangan realita sebagai manusia yang harus mengakui keberagaman
perbedaan.
Kita sadar bahwa kritik harus
pada tempat dan konsepnya. Mengkritisi akan terlihat elegan jika memiliki dasar
yang jelas. Namun sekali lagi, bukan berarti narasi yang membabi buta dengan
kandungan diksi-diksi kebencian yang teramat memilukan bisa berdampak rusaknya
moral kita sebagai manusia diikuti. Kita pun perlu otokritik sebagai pondasi
dasar adanya usaha dan cara bagaimana membenahi diri kita sebelum bernarasi
tentang yang lain.
Menakar kritik adalah respon dari
suatu penilaian yang objektif, bukan subjektif, logis, dan mampu diterima oleh
setiap orang. Respon itu memang layak diberikan terhadap suatu keadaan yang
dianggap bisa melahirkan potensi sebab-akibat pada suatu masalah.
Tidak ada yang aneh bahwa
kebebasan berekspresi harus dibarengi dengan pertimbangan-pertimbangan batas
kita dalam berperilaku dan berperikemanusiaan. Kebebasan merupakan fase dari
rasa bebas dengan memberikan ruang-ruang penghormatan. Pada akhirnya, kebebasan
itu tercipta; kebebasan lahir dari rahim penghormatan yang bersifat ekspresif
dengan segala bentuk ekspresinya.
Kebebasan harus tetap menempatkan
kemuliaan. Kemuliaan di sini adalah penghormatan pada terciptanya rasa bebas.
Jika rasa bebas diperjuangkan tapi tidak melihat konteks batas-batas, maka itu
bukan sebuah kebebasan. Ada tanggung jawab, ada konsekuensi, ada etika. Ketika
keinginan kebebasan yang diagungkan haruslah tanpa memasung hak yang menentang
kebebasan itu sendiri. Tapi itulah realita bahwa keinginan harus menghormati
dari yang tidak menginginkan. Kita adalah entitas manusia yang memiliki peran
berpikir.
Bebas bukan selalu berarti
demokrasi tanpa konsekuensi dan sebuah kebebasan yang benar-benar bebas. Jika
satu pihak memperjuangkan tentang sebuah sistem kehidupan yang
demokratis/bebas, maka pihak ini pun harus menghormati kaidah-kaidah aturan
yang diberikan/dibuat dari yang menentang (pro-demokrasi harus menghormati
anti-demokrasi). Jika sudah saling memahami maka akan timbul saling
penghormatan. Dalam prosesnya, rasa penghormatan yang tercipta ini secara tidak
langsung akan menciptakan sebuah proses dan tatanan lain yang artinya ada
batas-batas tertentu tanpa harus menimbulkan pergeseran atau friksi yang justru
bersifat paradoks.
Kembali pada konteks tentang
sikap ekspresi, opini, atau pendapat, maka titik temu dari perjalanan narasi
ini adalah bahwa kebebasan beretorika harus siap dengan suatu konsekuensi.
Konsekuensi itu harus diterima dan menghormati kebebasan dalam persoalan adanya
pertentangan lain. Satu dengan kebebasan, satu lagi dengan alibi kebebasan untuk
tetap memelihara aturan dan batasan.
EMPATI TERBELI
By : kontributorTAK BERMODAL
By : kontributorPanggung gratis di pinggir jalan
tersenyum lebar berpeci hitam
beragam fose tanganpun diekspresikan
semata-mata cuma iklan jalanan
Apapun rupa warna rumahmu
seperti apapun misimu tetap tak enak
dipandang karena yang terpampang
hanya pencitraan
Sepertinya mereka hanya butuh panggung
panggung untuk sandiwara
di lima tahun sekali, mengabdi hanya untuk diam diri
tanpa celoteh mengoceh perjuangkan aspirasi
Kasihan sekali mereka
seperti pengemis jalanan, meminta empati ditengah keramaian. Ini bukan lelucon, ini serius, mereka penjaja suara untuk duduk disingasana.
Singgasana empuk yang banyak todongan kanan dan kiri, sekali duduk bisa terlelap, bermimpi dalam kemegahan diantara penderitaan rakyat yang sedang kelaparan.
Lihatlah pohon,
dimana disebrangnya ada tiang listrik
ini adalah mangsa dari pada badut-badut
yang haus kursi.
Lihatlah pos dan mushola
atau bahkan sekolah-sekolah
inipun mangsa dari pada yang sedang mencari kekuasaan
Bagi mereka,
setiap tempat adalah aset, untuk mengeruk dan mendulang suara, biar kata rusak yang penting jadi alat, alat peraga dan propaganda.
DIAM / TINGGAL NAMA
By : kontributor
Kota Hujan dulu lembab
oleh air yang menetes tanpa mengenal
musim
seperti dadaunan yang senantiasa tak pernah merasakan kering diantara gunung menghijau tanpa terlihat warna lain seperti merah dan coklat
Kini, alih berubah begitu cepat
tuan tanah dadakan muncul dimana-mana
begitupun “sang tuan” pemegang kebijakan
duduk manis tenang tanpa harus
keheran-heranan
Sang tuan sebelumnya pernah duduk dikursi
disebuah resto, bertemu tamu bersalam senyum meninggalkan satu bungkusan
tak ada yang tahu jika yang dibungkus bisa buat terbungkam dan tergadaikan
Rusak-rusak sudah..
tinggal menunggu tangis pilu
tinggal merah yang tertinggal mengganti dari yang tiada warna, tinggal amarah benci dari yang masih bernafas sentara yang bernafaspun hari ini diam
Biarkan kering karena disengaja seperti nampak sahara nantinya, jangan ada yang bersikukuh jika tak bisa menuduh tuan tanah kapanpun bisa datang jika ada teriakan lantang
Diamlah dan nikmati
pandangan yang tak nyaman harus dikata
ini jamannnya, ini eranya, sudah
waktunya
jangan cuma teriak, jangan berisik!
ini soal isi perut, jangan mengusik jadi diam saja atau nanti pulang tinggal nama
TERGERUS & PUDAR
By : kontributorPayu sudah tak laku, masih coba mengais sisa dimasa lalu, kejayaan ada masanya, tidak bisa disambung dirajut kembali, sebab yang ditumpahkan adalah noda. Jangan pernah melangkah jika kiasan "ada udang dibalik batu" masih tertulis.
Jika berharap melihat kursi duduk kembali lagi, yang diharapkan sudah tentu tahu takaran, kapan dimana. Ingat, bangkai yang tersingkap baunya sudah teramat busuk lalu tangan mana yang mau menyempurnakan kembali, keinginan itu hanya impian semu, lepaskan saja apa yang dikejar biar terasa wajar.
Pudar-pudar sudah, terasing terombang ambing di samudra, berkhayal tentang adanya gunung sembari menapaki menjajaki dan bermegah dalam istana baru, sebelum pergimu selamanya menyapa, peribahasa gajah meninggalkan gading, harimau meninggalkan belang telah nampak dimulai dari sekarang.
Jangan pernah seperti pungguk merindukan bulan, sudah tentu tak akan sampai di ujung pencarian, semua akan percuma hanya menambah beban saja. Baiknya habiskan, waktunya generasi meniti tersenyum agar lebih bijak dilihatnya.
Akhiri sudah! semua telah usai, sudah menjadi kekadungan yang tak kan pernah menjadi kebangkitan, berlabuhlah dengan sekoci atau sampan kecil diantara hamparan, biarkan air membawamu, dan jangan tatap langi, itu hanya akan membawa rasa kecewa, matikan ambisimu redupkan dengan cahaya ilahi. Ingat, warnamu telah menjadi hitam legam yang tak pernah bisa lagi tercerahkan.
Jika nalar yang rasional, cukupkan dan katakan bahwa singgasana telah berakhir dan bergeser, waktunya ketenangan adalah keakuan batas kekurangan.
Jakarta, 26 Juli 2023
GADOG DIPERSIMPANGAN
By : kontributorGadog
Dirimu berbeda saat ini, lebih dulu ada sebelum kelahiranku, wajahmu terlihat kusam kusut saat ini diantara banyaknya sepanduk yang menjadi selendang tak berirama. Kamu terkenal dulu hingga saat ini tapi rupa-mu nampak tak wajar, ada kewibawaan yang memudar ada ilustrasi yang menjadi pembenaran bahwa sekarang siapa didalamnya, kenapa pemangkumu diam ketika jubahmu berubah, mungkinkah mereka bimbang ?
Gadog
Semakin sempit bercabang menumpuk, membagi tempat jadi dua, diantara cabang yang terbelah ada kehidupan yang sama satu adat dan pemahaman, terpenjara realita ketidakpastian.
Gadog
Ketika kulewat, berdiri kokoh menjulang melawan arus dari kebiasaan yang sudah menjadi tradisi turun temurun. Bukan perkara kita menyingung spiritualitas tapi ini simbol, "itu" menjadi penanda kamu ada dimana dengan siapa adakah yang disembunyikan.
Gadog
Tetap hadir jadi diskusi, penambah semarak obrolan warung kopi. Gadog, seribu bahasa acuh tak peduli, biar pasti tapi tak pasti arahnya cukup berkabut, tanpa konsep dan bersolek gadog tetaplah gadog, gadog seperti dipersimpangan jalan, muram dan berkabut, yang jika terbiarkan saat ini bisa datang mewarisi hilangnya sisi jati diri, gadog nasibmu kini
puncakbogor, 18/7/2023
MUNGKINKAH DIA DATANG
By : kontributor[Image Ilustrasi Google] |
Kunjungan Tak Sengaja ke Bukit Karang Hau
-True Story-
Tiga tahun lalu, setelah berziarah ke makam orang tua di Kampung Pangkalan, Nagrak, Sukabumi, pada sore hari saat beranjak pulang, saya tiba-tiba terpikir, "Sepertinya mantai malam-malam sambil ngopi enak nih." Lalu, saya berangkat ke pantai. Karena kondisi macet dan lain hal, saya tiba di Pelabuhan Ratu sekitar pukul 10 malam. Tanpa berpikir lama, saya langsung mencari warung yang bisa digunakan untuk menginap sambil menikmati kopi. Tidak terasa waktu sudah menunjukkan hampir pukul 11.30 malam.
Karena tidak adanya dukungan keamanan parkir motor, kami bergeser ke dekat Karang Hawu. Pada akhirnya, kesempatan tersebut menjadi momen eksplorasi. Sayang seribu kali sayang, saudara sudah kadung ngantuk. Kami mendapatkan tempat beristirahat tepat di bawah Karang Hawu dengan pemandangan yang menghadap langsung ke karang di bibir pantai. Saudara saya akhirnya tidur sementara saya belum ngantuk. Ketiga saudara yang mengantar sudah benar-benar pulas, tidur terbuai mimpi oleh desiran dan kenikmatan bermalam di tepi pantai. Saya masih terjaga dan tiba-tiba muncul keinginan untuk masuk lebih jauh ke perbukitan bagian atas Karang Hawu.
Sesampainya di atas, saya mampir ke batu kursi raja yang menempel di antara curamnya tebing dan area makam Nyi Roro Kidul. Waktu itu sudah menunjukkan pukul 12 malam atau setengah satu.
Di dalam area kompleks pemakaman, ternyata suasana ramai. Tidak terpikir sebelumnya, di luar terlihat menyeramkan, tetapi ketika sudah masuk ke kompleks tersebut, suasananya ramai. Di dalam area kompleks ada masjid besar. Tidak seperti isu yang merebak bahwa ini tempat pemujaan, ternyata di dalam area kompleks sangat jauh berbeda. Suasananya layaknya tempat ziarah ke para wali, terlihat ada yang sedang mengaji dan melantunkan sholawat di masjid yang langsung bersentuhan dengan makam-makam tersebut.
Singkat cerita, saya melihat ada banyak peziarah bahkan datang dari seberang Sumatra. Ada beberapa makam dengan nama berbeda, masing-masing makam memiliki area atau ruangan khususnya. Di antara makam-makam ini memiliki nama, di antaranya:
- Sinuhun Eyang Rembang Sancang Manggala
- Sinuhun Eyang Rendra Kusuma
- Sinuhun Eyang Jalakmatika
- Raden Syach Hasan Ali
- Nyimas Dewi Roro Kidul
- Ibu Ratu Mayangsari Nagasari
Penasaran, saya berusaha bertemu kuncen (juru kunci). Ternyata ada banyak kuncen di sana. Saya mencari kuncen yang memang memiliki riwayat detail terkait lokasi tersebut dengan memancing obrolan yang lebih dalam. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya saya diperbolehkan masuk, bukan saja dipersilahkan, tetapi lebih istimewanya saya diberikan kesempatan untuk masuk ke makam inti (Makam Nyai Roro Kidul). Izin itu didapat malam-malam yang sangat sulit. Entah kenapa, dalam diskusi dengan kuncen senior ini, seakan terdiam sejenak dan tiba-tiba berucap, "Akang dipersilakan untuk masuk ke makam Nyai."
Kesempatan itu tidak disia-siakan. Tanpa melalui makam-makam yang lainnya, saya langsung menuju makam inti Nyai Roro Kidul. Sendirian, waktu sudah menunjukkan pukul 1.30 lebih, saya masuk ke ruang makam Nyai Roro Kidul. Suasananya berbeda, lebih terasa ada vibrasi lain. Dalam ruangan hanya ada satu makam dengan nuansa cat hijau dan terdapat pernak-pernik layaknya kerajaan. Sendirian sambil memegang kamera, kuncen menutup pintu. Saya berada di dalam sendiri. Rasa takut itu manusiawi, tetapi tidak begitu besar karena niat dan tujuan saya positif, yaitu eksplorasi dan dokumentasi. Saya berusaha maksimal mengambil detail video. Ada wejangan agar tidak duduk di dua kursi yang mirip kursi raja. Saya berusaha menjaga adab selama dalam ruangan makam tersebut.
Di dalam ruangan, terdapat beberapa foto, termasuk foto atau lukisan yang dipercaya sebagai lukisan ratu, ada juga lukisan Prabu Siliwangi dan foto Soekarno. Setelah mengambil dokumentasi, saya mengambil inisiatif duduk di samping makam, mengirim Al-Fatihah dan doa kubur. Selama membacakan doa, saya merasa ada getaran yang tidak biasa, seperti merasakan kehadiran astral. Saya tetap berpikir positif sampai akhirnya keluar malam dan melanjutkan eksplorasi makam selanjutnya.
Singkat cerita lagi, saya berbincang dengan kuncen makam tadi. Beliau mengeluhkan dan menyayangkan framing cerita yang tidak sepenuhnya benar. Framing tersebut diperkuat oleh adanya film yang berdampak buruk terhadap tempat tersebut. Bahkan, ada oknum kuncen yang menyalahgunakan tempat tersebut di luar kewajaran. Menurutnya, kondisi demikian ini sudah tidak bisa dibendung, karena lebih banyak kuncen yang azas manfaat daripada kuncen yang sebenarnya mengantarkan orang hanya sekadar berziarah.
Kuncen berkata bahwa sebenarnya memang ada tempat pemujaan, tetapi di bukit sebelahnya, jaraknya kurang lebih 500 meter ada sebuah makam yang memang menjadi tempat pemujaan. Karena terlalu dekat dengan kompleks makam di Karang Hawu, menjadi tercoreng. Lebih lanjut, kuncen mengatakan bahwa diperparah dengan adanya lelaku ritual mandi di bawah kubangan air atau biasa dikenal dengan 7 sumur.
Waktu sudah menunjukkan pagi, langit mulai berwarna jingga, cahaya di ujung timur mulai terlihat sementara saya masih asyik berbincang dengan kuncen. Saya pun bercerita bahwa selama di dalam, saat saya mendoakan Fulan, ada kondisi tidak biasa. Beliau (kuncen) menimpali, "Akang diterima hadir di sini, nanti silakan saja katanya."
Berminggu-minggu dan berbulan-bulan saya menjalani rutinitas seperti biasa. Kebetulan, jika bicara bunga Wijaya Kusuma di rumah juga ada. Tetapi, pernah ada satu malam di atas jam satu, ketika duduk ngopi sambil bermain HP, ada suasana berbeda yang tiba-tiba muncul pada malam Senin. Selain suasana berbeda, ada sekilas disertai angin yang cukup besar, seperti gambaran sosok perempuan dengan busana hijau, cantik, dan rambut panjang. Dalam pandangan samar itu, hanya diam memandang, seakan komunikasi tanpa ucapan kata. Ini seperti antara ucapan hati ke hati. Saya berpikir siapapun yang datang itu adalah jin. Jin yang mungkin saja pendamping Fulan bin Fulan selama dia hidup.
Cerita begitu saja berakhir tanpa berlanjut sampai sekarang. Namun, getaran untuk datang ke sana terasa kuat. Saya berusaha menghindari karena stereotip negatif terhadap tempat tersebut.
Hablum Minnal Yakin, Allah menciptakan beragam makhluk dengan pengabdian dan fungsinya dalam menjalani kehidupan slama hidup didunia dan dimensi disampingnya, Jadi, saya menganggapnya sebagai bunga kehidupan. Wallahualam.