SERING DIBACA

Archive for 2023

BUNDA, BENDERANYA PUSAKA

By : kontributor

Pernah kita mendengar merah dan putih terpisah dirajut disatukan menjadi satu, jaman sebelum kita yang disini, saat ini membaca terlahir kedunia. Mungkin, ada banyak tafsir tentang warna pada waktu itu, sekalipun hanya berisikan dua warna menyambung jadi satu kibaran merah putih diantara barisan-barisan tubuh lusuh tanpa pernah mengeluh, ditengah lapangan atau diantara parit dengan teriakan merdeka-merdeka..


Mereka pemberontak!

Bagi tamu asing yang berkuasa, memenjarakan pribumi dengan dalih perlawanan pada penguasa. Ya! Penguasa masa itu berbaju putih menunggang kuda-kuda atau kuda besi pembawa mesiu yang siap dikokang kapan saja. Sang asing yang datang dari negeri berkecamuk peperangan singgah di Nusantara, mengadu domba perang saudara.

Ada banyak darah dan sisa tulang berserakan, leluhur kita disiksa, ditikam, dan dihabisi hingga mati. Berkeringat, perih mata mengedip, kulit yang teramat licin, otot yang sudah mungkin ribuan kali kram, memanggul bambu-bambu yang runcing, berlari-lari teriak seraya memekikkan lafadz takbir. Bangsa mana yang mau diperintah dan dijajah?


Duaaar....

Meriam meletus di atas bukit koloni, sawah becek jadi arena perebutan kemenangan, pejuang berteriak lantang, “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar!” Amarah itu sudah memuncak, takut pun tak terpikirkan, ingin mati sudah pasti daripada pasrah terjajah. Satu tekad melawan tanpa pertahanan, merebut merdeka berdaulat.


Di sebuah rumah menerawang ke halaman atau alun-alun kota, gemerlap itu belum terlihat dan terdengar, tapi sulaman bendera telah disiapkan. Bunda Fatma merajut, menyulam, dan menjahit jadi satu dengan ukuran dua kali tiga meter di sebuah ruang makan. Kala itu, Bunda Fatma mengandung sembilan bulan. Bunda dengan teliti dan hati-hati merapikan kain yang pada waktu itu serba terbatas. Berurai air mata, Bunda Fatma menjahit menyulam bendera, menangis menahan sesaknya rasa sakit. Bagaimana fase mencapai kemerdekaan harus banyak jiwa dikorbankan.


Dua hari Bunda Fatma bekerja keras menyelesaikan, di tengah kehamilannya yang sudah sembilan bulan. Tangannya masih saja menari-nari, matanya serius memandang setiap kaitan benang merapatkan barisan sulaman. Ini seperti filosofi bagaimana saling mengaitkan bersama sejajar akan saling menguatkan.


Bunda bahagia, ini bukan perkara karya tapi proses mengenalkan identitas bangsa. Sekian ratusan tahun akhirnya kita tahu bahwa merah dan putih jadi benderanya Indonesia. Hadir berkibar di deklarasi proklamasi.


Bengkulu menyemaikan sejarah Indonesia. Sebuah bendera lahir dari tangan seorang wanita, istri dari pada yang akhirnya menjadi sang proklamator. Setelah masa keterasingan, Bunda menorehkan sejarah pusaka. Benar! Sebuah bendera yang hanya miliki dua warna, namun saktinya mampu menyatukan Nusantara.

 -puncakbogor, 14 Agustus 2023

Tag : ,

ASING JADI BISING

By : adminpenulis


Disclaimer! Penulis bukan bagian dari pendukung salah satu Bacapres/Capres

Keterasingan bisa jadi kebisingan, manakala “ketidak dianggapan” terus diproduksi atau diviralkan hingga dianggap jadi biasa. Saat ini, sepertinya dan memang kenyataannya, proses itu tengah berjalan. TV/kanal-kanal YouTube, baik yang pribadi maupun yang berafiliasi dengan organisasi, komunitas, atau lembaga, sibuk dan terjebak atau menjebak kita untuk ikut mendiskusikan tentang politik dua calon tunggal peserta Pilpres 2024. Perpolitikan kita seakan-akan Indonesia sedang mempersiapkan hanya ada dua pasang bakal capres.

Saat ini, sepertinya dan memang kenyataannya pula, proses itu tengah berjalan. Televisi dan kanal-kanal YouTube, baik yang pribadi maupun yang berafiliasi dengan organisasi, komunitas, atau lembaga tertentu, sibuk dan terjebak atau menjebak kita untuk ikut mendiskusikan tentang politik dua calon tunggal peserta Pemilihan Presiden 2024. Perpolitikan kita seakan-akan Indonesia sedang mempersiapkan hanya ada dua pasang bakal calon presiden dan wakil presiden.

Dalam beberapa talk show tayangan debat di stasiun televisi, berjudul dengan narasi yang menyebutkan dari tiga bakal pasang menjadi dua bakal pasang, Prabowo-Ganjar atau sebaliknya, dalam konteks tema pilpres lain pun terus diproduksi dengan berputar-putar di dua nama itu-itu saja.

Sementara itu, kita saksikan, ada lebih dari satu stasiun televisi yang memuat dengan judul yang hampir sama, narasumber partai yang hampir sama, pengamat yang hampir sama pula, seakan-akan pilpres ini hanya diikuti oleh dua orang kontestan atau jagoan saja. Jujur saja, apa yang kita lihat dan dengar ini, diakui atau tidak, sudah mulai terasa memuakkan.

Dua Figur Dominan, Apa Kabar Anis?
Judul yang mengundang tanya ini terkesan dipaksakan, seolah meniadakan satu sosok lain (Anis) yang padahal juga bagian dari kontestan pilpres. Dari diskusi ke diskusi, dari agenda ke agenda, kanal-kanal media sibuk dengan narasi-narasi diskusi debat yang tetap berkutat pada dua figur, Prabowo dan Ganjar. Media seakan termonopoli oleh dua orang tersebut. Apakah kondisi ini disengaja atau tanpa kesengajaan? Memang politik dinamis, tapi menarik juga jika kita mendiskusikan tentang fenomena ini.

Dominannya isu pilpres di mana penguasaan dua nama figur di lini-lini talk show dan diskusi-diskusi yang sudah banyak dipublikasikan menimbulkan ruang pertanyaan. Apakah ini diskriminasi, atau memang kita biasa terjebak pada rating survei hingga dianggap jadi sebuah kesimpulan menarik untuk didiskusikan di warung-warung kopi atau di beranda studio dengan sorotan kamera? Tema pagi, siang, sore, atau malam, sesi atau episode kali ini, pesta demokrasi pilpres pilihannya hanya milik dua nama, Prabowo-Ganjar atau sebaliknya Ganjar-Prabowo, dengan sub-sub judul beragam.

Sepertinya kita lupa satu momen peristiwa pada Pilkada DKI Jakarta 2017 beberapa tahun silam, ataukah kita memang malas belajar dari sebuah tragedi euforia kita dari survei di masa itu, yang akhirnya kita, masyarakat biasa, akademisi, politikus partai, pengamat dibuat malu pada hasil yang di luar dugaan. Bahkan di luar itu, munculnya “untrusted” (ketidakpercayaan) pada lembaga-lembaga survei pasca kemenangan Anis-Sandiaga Uno di Pilgub DKI.

Terlena oleh Survei, Lupa dengan Realitas
Walaupun prosesnya cukup panjang hingga terjadi dua kali putaran Pilkada, tetapi faktanya tetap tak terbantahkan bahwa kita sering kali lalai dan terlena oleh survei, oleh kesibukan pikiran kita, oleh kekeliruan kita karena terjebak, keinginan dan harapan, oleh pengamatan yang dilandasi adanya dukungan menyimpan satu/dua kategori nama dan tentunya oleh rasa sentimental kita.

Apakah kondisi ini cukup rasional, apakah ini diskriminasi, atau karena kita sebenarnya belum mampu memetakan sebuah pengamatan terhadap sebuah isu yang kebetulan isunya lagi-lagi terhadap sebuah pilihan yang berkaitan dengan pilihan politik atau kita memang sebenarnya tidak memiliki kapasitas untuk memberikan sebuah penilaian, untuk mendiskusikan sebuah pilihan tertentu.

Mungkinkah Ada Diskriminasi dan Selera Pasar
Ketika kita berbicara tentang diskriminasi dan identitas, kita tidak bisa mengabaikan konteks di mana kita dan media selalu mengangkat dua pasangan nama (Prabowo-Ganjar/Ganjar-Prabowo) sebagai peserta pilpres. Pada hakikatnya, kita secara tidak langsung sedang terlibat dalam diskriminasi diskusi (jika boleh dikatakan demikian), kita lupa, kita menyangkal adanya fakta tiga pasang nama, tapi kita seenaknya menghakimi bahwa pilihan masyarakat hanya terbatas pada dua pasangan tersebut.

Keadaan ini sebenarnya kurang mengedukasi dalam pemahaman tentang politik, walaupun itu menjadi hak dari setiap tema yang akan diangkat. Namun tentunya, jika dipikir-pikir ulang, sangatlah memprihatinkan. Lagi dan lagi, sepertinya ada pengaburan, pengabaian, dan pengingkaran adanya tiga nama bakal capres. Apakah ini agenda pengebirian ataukah dengan memasang sub judul tiga nama kurang relevan di pasar konten penonton peminat isu politik?

Jika bicaranya dalam konteks identitas, maka saat ini yang sedang dan telah terjadi adalah pemaksaan publikasi pada dua identitas personal bakal capres. Ingat, misi mengasingkan satu sosok seakan ditiadakan dalam panggung-panggung debat diskusi. Pada akhirnya, hal ini akan membuat kebisingan. Ketika “ketidak dianggapan terus coba dipropagandakan”, maka bukan tidak mungkin kemenangan bisa saja berpihak kepada yang tidak diberi tempat. Wallahu a’lam.

 -portalcisarua14/8/2023-



Tag : ,

SENJA DI KALI CIESEK

By : kontributor


Ada canda yang membuatku ingat, ketika kita duduk disenja sore hari. Rambut terurai harum tercium dengan keadaan kita yang semakin terbuai suasana. Wajahmu memerah ketika gelak tawa, ada asa seperti yang sudah lama di nanti-nanti.


Aku tak punya kuasa menolak ketika senda gurau itu datang, karena inilah momen yang mengisi kekosongan kita selama dari ketiadaan kita tidak bertemu yang cukup lama. Ketika padangan itu datang aku yang justru tersipu malu, entah mengapa aku menunduk tiada untaian kata selain merasa bahwa hari itu indah. 


Saat itu gerimis mulai turun, angin menerpa tubuh yang terasa dingin ini, aku butuh peluk tidak hanya kamu, aku butuh dekapan tidak hanya sekedar berdekatan. Aku pikir kita sedang di mabuk cinta percintaan dimana pikiran terasa goyang oleh godaan. 


Kala terang alam redup berganti menuju malam kita beranjak, bergeser meninggalkan tempat yang hari ini menjadi pelengkap coretan dan cerita. Aku masih ingat kita berdua bersenja-senja disore hari di pinggir kali Ci Esek Cisarua.


Dulu kita tidak sedekat ini, satu untaian satu kehidupan, bahkan tak pernah terbayang untuk merajut kebersamaan. Aku rasa ini sudah takdir, walaupun prosesnya getir. Kita maklumi tiap perjalanan manusia tak ada yang sama, namun bukan berarti tak satu tujuan. 


Jika teringat dimasa kita merajut asmara, ada senyum dan pedih ketika pikiran terpancing ke masa lalu. Seperti inilah bumbu dari kehidupan setiap orang. Mungkin! semua memiliki kisah dimasa pencarian, tentang pelabuhan hati dan sandaran dan bukan sekedar keinginan.


-puncakbogor 2011-


Tag : ,

OPINI DAN MORALITAS

By : kontributor

Ada batas waktu; pagi berakhir siang, siang berakhir sore, sore berakhir malam, dan akhirnya malam pun kembali berakhir menjadi pagi.

 

Tak ada generasi yang menginginkan generasi selanjutnya menjalani kehidupan dengan berbagai hiperbola yang mengandung umpatan merendahkan, terlebih umpatan tersebut terucap dari manusia-manusia terpilih yang menjadi pusat perhatian.

 

Kita adalah manusia Timur, dengan adat budaya dan agama yang menjunjung tinggi bagaimana menempatkan kesakralan dalam penghormatan lintas kehidupan. Kita sepakat bahwa azas-azas penghormatan bukan berarti harus mengkultuskan. Keberadaban adalah ketika kita mampu menjaga dan menempatkan setiap yang ada pada tempatnya hingga bisa diwariskan kepada yang selanjutnya.

 

Ungkapan yang berhiperbola lebih dari konteks memiliki konsekuensi yang berbeda tergantung siapa yang menarasikan. Jika yang menarasikan adalah masyarakat biasa yang tidak memiliki jangkauan pengaruh, ungkapan tersebut memiliki 'sense' biasa saja. Namun, narasi yang disampaikan oleh satu manusia dengan pengaruh luar biasa memiliki implikasi yang juga luar biasa.

 

Side effect tiru-meniru terjadi tidak hanya pada ruang privat tapi juga pada kehidupan publik. Hal ini melunturkan keberadaban, mengikis rasa toleransi atau penghormatan, bahkan puncaknya bisa saja membiaskan dogma-dogma agama yang mengajarkan tentang etika kesantunan. Kita tidak ingin melihat kesemrawutan manusia dengan kehidupan liar.

 

Sentimentil menjadi biasa, ungkapan yang tidak lagi mengarah pada kapasitas tapi lebih ke personal dapat membawa tatanan keadaban kita sebagai manusia menjadi lebih buruk. Bahkan lebih dari itu, hal ini membunuh kebiasaan rasa batas kita sebagai manusia, merusak dan merobek-robek nalar hingga bisa berakhir pada puncaknya meniadakan kita dalam cara berpandangan realita sebagai manusia yang harus mengakui keberagaman perbedaan.

 

Kita sadar bahwa kritik harus pada tempat dan konsepnya. Mengkritisi akan terlihat elegan jika memiliki dasar yang jelas. Namun sekali lagi, bukan berarti narasi yang membabi buta dengan kandungan diksi-diksi kebencian yang teramat memilukan bisa berdampak rusaknya moral kita sebagai manusia diikuti. Kita pun perlu otokritik sebagai pondasi dasar adanya usaha dan cara bagaimana membenahi diri kita sebelum bernarasi tentang yang lain.

 

Menakar kritik adalah respon dari suatu penilaian yang objektif, bukan subjektif, logis, dan mampu diterima oleh setiap orang. Respon itu memang layak diberikan terhadap suatu keadaan yang dianggap bisa melahirkan potensi sebab-akibat pada suatu masalah.

 

Tidak ada yang aneh bahwa kebebasan berekspresi harus dibarengi dengan pertimbangan-pertimbangan batas kita dalam berperilaku dan berperikemanusiaan. Kebebasan merupakan fase dari rasa bebas dengan memberikan ruang-ruang penghormatan. Pada akhirnya, kebebasan itu tercipta; kebebasan lahir dari rahim penghormatan yang bersifat ekspresif dengan segala bentuk ekspresinya.

 

Kebebasan harus tetap menempatkan kemuliaan. Kemuliaan di sini adalah penghormatan pada terciptanya rasa bebas. Jika rasa bebas diperjuangkan tapi tidak melihat konteks batas-batas, maka itu bukan sebuah kebebasan. Ada tanggung jawab, ada konsekuensi, ada etika. Ketika keinginan kebebasan yang diagungkan haruslah tanpa memasung hak yang menentang kebebasan itu sendiri. Tapi itulah realita bahwa keinginan harus menghormati dari yang tidak menginginkan. Kita adalah entitas manusia yang memiliki peran berpikir.

 

Bebas bukan selalu berarti demokrasi tanpa konsekuensi dan sebuah kebebasan yang benar-benar bebas. Jika satu pihak memperjuangkan tentang sebuah sistem kehidupan yang demokratis/bebas, maka pihak ini pun harus menghormati kaidah-kaidah aturan yang diberikan/dibuat dari yang menentang (pro-demokrasi harus menghormati anti-demokrasi). Jika sudah saling memahami maka akan timbul saling penghormatan. Dalam prosesnya, rasa penghormatan yang tercipta ini secara tidak langsung akan menciptakan sebuah proses dan tatanan lain yang artinya ada batas-batas tertentu tanpa harus menimbulkan pergeseran atau friksi yang justru bersifat paradoks.

 

Kembali pada konteks tentang sikap ekspresi, opini, atau pendapat, maka titik temu dari perjalanan narasi ini adalah bahwa kebebasan beretorika harus siap dengan suatu konsekuensi. Konsekuensi itu harus diterima dan menghormati kebebasan dalam persoalan adanya pertentangan lain. Satu dengan kebebasan, satu lagi dengan alibi kebebasan untuk tetap memelihara aturan dan batasan.


Tag : ,

EMPATI TERBELI

By : kontributor

Jika riwayat telah banyak terbaca 
ada diantaranya berurai air mata 
dari satu tempat, tempat dimana bisa saja berakhir 
kamu, aku dan kita semua 
Hentikan!

Perlu memberi ruang jeda 
antara hati dan pikiran seimbang
bukan tentang nilai uang 
tapi ini sebab kemanusiaan karena empati yang bernilai kertas tidak akan pernah bebas
ia berkisah dan berkeluh kesah

Jangan terbungkam, bersuaralah karena itu mahal 
jangan tergadai oleh lembaran warna
karena yang tergadai terbatas suara

Luruslah melangkah dan terarah
walaupun dekat dengan cacian
karena yang yakin takkan tergoyahkan
lihatlah kedepan terlintas gambaran 
sementara yang tidak diam tak bercerita

Jangan biarkan sebelum "itu" terjadi dan tetap tuli
karena yang sudah takkan kembali
jangan tunggu tangis barulah kita merangkai alur tema
sebab ketiadaan hanya jadi penyesalan

Bayangkan dirimu 
berdiri atau sedang bersenda gurau 
menikmati secangkir kopi dikeramaian jalanan 
jalanan yang bermemori jiwa-jiwa yang mati

Sebentar dan secepatnya 
tinggalah nama jadi berita 
tinggalah sesak sakit teteskan air mata
ketika tahu sudah jadi bagian diantara mereka. 

Lalu-berlalu menyambung kembali
jadi pembicaraan dan mempertanyakan
dari orang-orang yang akan datang dimasa nanti

Sebab tempat ini apa 
dan bagaimana
kenapa berubah dan berulah 

Jengah!
dikorban ditumbalkan di permainkan
Empati terbeli

Mereka yang lebih dulu mangkat 
mereka yang terlalu singkat 
hinggalah kitalah yang ada untuk saling mengingat

-puncakbogor, 5/8/2023-
Tag : ,

TAK BERMODAL

By : kontributor


Panggung gratis di pinggir jalan 

tersenyum lebar berpeci hitam 

beragam fose tanganpun diekspresikan

semata-mata cuma iklan jalanan


Apapun rupa warna rumahmu 

seperti apapun misimu tetap tak enak 

dipandang karena yang terpampang

hanya pencitraan



Sepertinya mereka hanya butuh panggung 

panggung untuk sandiwara 

di lima tahun sekali, mengabdi hanya untuk diam diri

tanpa celoteh mengoceh perjuangkan aspirasi



Kasihan sekali mereka

seperti pengemis jalanan, meminta empati ditengah keramaian. Ini bukan lelucon, ini serius, mereka penjaja suara untuk duduk disingasana.


Singgasana empuk yang banyak todongan kanan dan kiri, sekali duduk bisa terlelap, bermimpi dalam kemegahan diantara penderitaan rakyat yang sedang kelaparan.


Lihatlah pohon, 

dimana disebrangnya ada tiang listrik 

ini adalah mangsa dari pada badut-badut 

yang haus kursi. 


Lihatlah pos dan mushola 

atau bahkan sekolah-sekolah

inipun mangsa dari pada yang sedang mencari kekuasaan


Bagi mereka, 

setiap tempat adalah aset, untuk mengeruk dan mendulang suara, biar kata rusak yang penting jadi alat, alat peraga dan propaganda.

Tag : ,

DIAM / TINGGAL NAMA

By : kontributor

 

 

 



Kota Hujan dulu lembab

oleh air yang menetes tanpa mengenal musim

seperti dadaunan yang senantiasa tak pernah merasakan kering diantara gunung menghijau tanpa terlihat warna lain seperti merah dan coklat

 

Kini, alih berubah begitu cepat

tuan tanah dadakan muncul dimana-mana

begitupun “sang tuan” pemegang kebijakan

duduk manis tenang tanpa harus keheran-heranan

 

Sang tuan sebelumnya pernah duduk dikursi 

disebuah resto, bertemu tamu bersalam senyum meninggalkan satu bungkusan

tak ada yang tahu jika yang dibungkus bisa buat terbungkam dan tergadaikan

 

Rusak-rusak sudah..

tinggal menunggu tangis pilu

tinggal merah yang tertinggal mengganti dari yang tiada warna, tinggal amarah benci dari yang masih bernafas sentara yang bernafaspun hari ini diam

 

Biarkan kering karena disengaja seperti nampak sahara nantinya, jangan ada yang bersikukuh jika tak bisa menuduh tuan tanah kapanpun bisa datang jika ada teriakan lantang

 

Diamlah dan nikmati

pandangan yang tak nyaman harus dikata

ini jamannnya, ini eranya, sudah waktunya

jangan cuma teriak, jangan berisik!

ini soal isi perut, jangan mengusik jadi diam saja atau nanti pulang tinggal nama

 

 

 

 

 

Tag : ,

TERGERUS & PUDAR

By : kontributor


Payu sudah tak laku, masih coba mengais sisa dimasa lalu, kejayaan ada masanya, tidak bisa disambung dirajut kembali, sebab yang ditumpahkan adalah noda. Jangan pernah melangkah jika kiasan "ada udang dibalik batu" masih tertulis.


Jika berharap melihat kursi duduk kembali lagi, yang diharapkan sudah tentu tahu takaran, kapan dimana. Ingat, bangkai yang tersingkap baunya sudah teramat busuk lalu tangan mana yang mau menyempurnakan kembali, keinginan itu hanya impian semu, lepaskan saja apa yang dikejar biar terasa wajar.


Pudar-pudar sudah, terasing terombang ambing di samudra, berkhayal tentang adanya gunung sembari menapaki menjajaki dan bermegah dalam istana baru, sebelum pergimu selamanya menyapa, peribahasa gajah meninggalkan gading, harimau meninggalkan belang telah nampak dimulai dari sekarang.


Jangan pernah seperti pungguk merindukan bulan, sudah tentu tak akan sampai di ujung pencarian, semua akan percuma hanya menambah beban saja. Baiknya habiskan, waktunya generasi meniti tersenyum agar lebih bijak dilihatnya. 


Akhiri sudah! semua telah usai, sudah menjadi kekadungan yang tak kan pernah menjadi kebangkitan, berlabuhlah dengan sekoci atau sampan kecil diantara hamparan, biarkan air membawamu, dan jangan tatap langi, itu hanya akan membawa rasa kecewa, matikan ambisimu redupkan dengan cahaya ilahi. Ingat, warnamu telah menjadi hitam legam yang tak pernah bisa lagi tercerahkan. 


Jika nalar yang rasional, cukupkan dan katakan bahwa singgasana telah berakhir dan bergeser, waktunya ketenangan adalah keakuan batas kekurangan.


Jakarta, 26 Juli 2023

Tag : ,

GADOG DIPERSIMPANGAN

By : kontributor


Gadog

Dirimu berbeda saat ini, lebih dulu ada sebelum kelahiranku, wajahmu terlihat kusam kusut saat ini diantara banyaknya sepanduk yang menjadi selendang tak berirama. Kamu terkenal dulu hingga saat ini tapi rupa-mu nampak tak wajar, ada kewibawaan yang memudar ada ilustrasi yang menjadi pembenaran bahwa sekarang siapa didalamnya, kenapa pemangkumu diam ketika jubahmu berubah, mungkinkah mereka bimbang ?


Gadog

Semakin sempit bercabang menumpuk, membagi tempat jadi dua, diantara cabang yang terbelah ada kehidupan yang sama satu adat dan pemahaman, terpenjara realita ketidakpastian.


Gadog

Ketika kulewat, berdiri kokoh menjulang melawan arus dari kebiasaan yang sudah menjadi tradisi turun temurun. Bukan perkara kita menyingung spiritualitas tapi ini simbol, "itu" menjadi penanda kamu ada dimana dengan siapa adakah yang disembunyikan.


Gadog

Tetap hadir jadi diskusi, penambah semarak obrolan warung kopi. Gadog,  seribu bahasa acuh tak peduli, biar pasti tapi tak pasti arahnya cukup berkabut, tanpa konsep dan bersolek gadog tetaplah gadog, gadog seperti dipersimpangan jalan, muram dan berkabut, yang jika terbiarkan saat ini bisa datang mewarisi hilangnya sisi jati diri, gadog nasibmu kini



puncakbogor, 18/7/2023

Tag : ,

MUNGKINKAH DIA DATANG

By : kontributor
[Image Ilustrasi Google]

Kunjungan Tak Sengaja ke Bukit Karang Hau
-True Story-

Tiga tahun lalu, setelah berziarah ke makam orang tua di Kampung Pangkalan, Nagrak, Sukabumi, pada sore hari saat beranjak pulang, saya tiba-tiba terpikir, "Sepertinya mantai malam-malam sambil ngopi enak nih." Lalu, saya berangkat ke pantai. Karena kondisi macet dan lain hal, saya tiba di Pelabuhan Ratu sekitar pukul 10 malam. Tanpa berpikir lama, saya langsung mencari warung yang bisa digunakan untuk menginap sambil menikmati kopi. Tidak terasa waktu sudah menunjukkan hampir pukul 11.30 malam.


Karena tidak adanya dukungan keamanan parkir motor, kami bergeser ke dekat Karang Hawu. Pada akhirnya, kesempatan tersebut menjadi momen eksplorasi. Sayang seribu kali sayang, saudara sudah kadung ngantuk. Kami mendapatkan tempat beristirahat tepat di bawah Karang Hawu dengan pemandangan yang menghadap langsung ke karang di bibir pantai. Saudara saya akhirnya tidur sementara saya belum ngantuk. Ketiga saudara yang mengantar sudah benar-benar pulas, tidur terbuai mimpi oleh desiran dan kenikmatan bermalam di tepi pantai. Saya masih terjaga dan tiba-tiba muncul keinginan untuk masuk lebih jauh ke perbukitan bagian atas Karang Hawu.


Sesampainya di atas, saya mampir ke batu kursi raja yang menempel di antara curamnya tebing dan area makam Nyi Roro Kidul. Waktu itu sudah menunjukkan pukul 12 malam atau setengah satu.


Di dalam area kompleks pemakaman, ternyata suasana ramai. Tidak terpikir sebelumnya, di luar terlihat menyeramkan, tetapi ketika sudah masuk ke kompleks tersebut, suasananya ramai. Di dalam area kompleks ada masjid besar. Tidak seperti isu yang merebak bahwa ini tempat pemujaan, ternyata di dalam area kompleks sangat jauh berbeda. Suasananya layaknya tempat ziarah ke para wali, terlihat ada yang sedang mengaji dan melantunkan sholawat di masjid yang langsung bersentuhan dengan makam-makam tersebut.


Singkat cerita, saya melihat ada banyak peziarah bahkan datang dari seberang Sumatra. Ada beberapa makam dengan nama berbeda, masing-masing makam memiliki area atau ruangan khususnya. Di antara makam-makam ini memiliki nama, di antaranya:

- Sinuhun Eyang Rembang Sancang Manggala

- Sinuhun Eyang Rendra Kusuma

- Sinuhun Eyang Jalakmatika

- Raden Syach Hasan Ali

- Nyimas Dewi Roro Kidul

- Ibu Ratu Mayangsari Nagasari


Penasaran, saya berusaha bertemu kuncen (juru kunci). Ternyata ada banyak kuncen di sana. Saya mencari kuncen yang memang memiliki riwayat detail terkait lokasi tersebut dengan memancing obrolan yang lebih dalam. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya saya diperbolehkan masuk, bukan saja dipersilahkan, tetapi lebih istimewanya saya diberikan kesempatan untuk masuk ke makam inti (Makam Nyai Roro Kidul). Izin itu didapat malam-malam yang sangat sulit. Entah kenapa, dalam diskusi dengan kuncen senior ini, seakan terdiam sejenak dan tiba-tiba berucap, "Akang dipersilakan untuk masuk ke makam Nyai."


Kesempatan itu tidak disia-siakan. Tanpa melalui makam-makam yang lainnya, saya langsung menuju makam inti Nyai Roro Kidul. Sendirian, waktu sudah menunjukkan pukul 1.30 lebih, saya masuk ke ruang makam Nyai Roro Kidul. Suasananya berbeda, lebih terasa ada vibrasi lain. Dalam ruangan hanya ada satu makam dengan nuansa cat hijau dan terdapat pernak-pernik layaknya kerajaan. Sendirian sambil memegang kamera, kuncen menutup pintu. Saya berada di dalam sendiri. Rasa takut itu manusiawi, tetapi tidak begitu besar karena niat dan tujuan saya positif, yaitu eksplorasi dan dokumentasi. Saya berusaha maksimal mengambil detail video. Ada wejangan agar tidak duduk di dua kursi yang mirip kursi raja. Saya berusaha menjaga adab selama dalam ruangan makam tersebut.


Di dalam ruangan, terdapat beberapa foto, termasuk foto atau lukisan yang dipercaya sebagai lukisan ratu, ada juga lukisan Prabu Siliwangi dan foto Soekarno. Setelah mengambil dokumentasi, saya mengambil inisiatif duduk di samping makam, mengirim Al-Fatihah dan doa kubur. Selama membacakan doa, saya merasa ada getaran yang tidak biasa, seperti merasakan kehadiran astral. Saya tetap berpikir positif sampai akhirnya keluar malam dan melanjutkan eksplorasi makam selanjutnya.


Singkat cerita lagi, saya berbincang dengan kuncen makam tadi. Beliau mengeluhkan dan menyayangkan framing cerita yang tidak sepenuhnya benar. Framing tersebut diperkuat oleh adanya film yang berdampak buruk terhadap tempat tersebut. Bahkan, ada oknum kuncen yang menyalahgunakan tempat tersebut di luar kewajaran. Menurutnya, kondisi demikian ini sudah tidak bisa dibendung, karena lebih banyak kuncen yang azas manfaat daripada kuncen yang sebenarnya mengantarkan orang hanya sekadar berziarah.


Kuncen berkata bahwa sebenarnya memang ada tempat pemujaan, tetapi di bukit sebelahnya, jaraknya kurang lebih 500 meter ada sebuah makam yang memang menjadi tempat pemujaan. Karena terlalu dekat dengan kompleks makam di Karang Hawu, menjadi tercoreng. Lebih lanjut, kuncen mengatakan bahwa diperparah dengan adanya lelaku ritual mandi di bawah kubangan air atau biasa dikenal dengan 7 sumur.


Waktu sudah menunjukkan pagi, langit mulai berwarna jingga, cahaya di ujung timur mulai terlihat sementara saya masih asyik berbincang dengan kuncen. Saya pun bercerita bahwa selama di dalam, saat saya mendoakan Fulan, ada kondisi tidak biasa. Beliau (kuncen) menimpali, "Akang diterima hadir di sini, nanti silakan saja katanya."


Berminggu-minggu dan berbulan-bulan saya menjalani rutinitas seperti biasa. Kebetulan, jika bicara bunga Wijaya Kusuma di rumah juga ada. Tetapi, pernah ada satu malam di atas jam satu, ketika duduk ngopi sambil bermain HP, ada suasana berbeda yang tiba-tiba muncul pada malam Senin. Selain suasana berbeda, ada sekilas disertai angin yang cukup besar, seperti gambaran sosok perempuan dengan busana hijau, cantik, dan rambut panjang. Dalam pandangan samar itu, hanya diam memandang, seakan komunikasi tanpa ucapan kata. Ini seperti antara ucapan hati ke hati. Saya berpikir siapapun yang datang itu adalah jin. Jin yang mungkin saja pendamping Fulan bin Fulan selama dia hidup.


Cerita begitu saja berakhir tanpa berlanjut sampai sekarang. Namun, getaran untuk datang ke sana terasa kuat. Saya berusaha menghindari karena stereotip negatif terhadap tempat tersebut.


Hablum Minnal Yakin, Allah menciptakan beragam makhluk dengan pengabdian dan fungsinya dalam menjalani kehidupan slama hidup didunia dan dimensi disampingnya, Jadi, saya menganggapnya sebagai bunga kehidupan. Wallahualam.

Tag : ,

- Copyright © salcenter.id - salcente.id - Powered by Blogger - Designed by salcenter -