- Back to Home »
- Pemikiran »
- OPINI DAN MORALITAS
Ada batas waktu; pagi berakhir
siang, siang berakhir sore, sore berakhir malam, dan akhirnya malam pun kembali
berakhir menjadi pagi.
Tak ada generasi yang
menginginkan generasi selanjutnya menjalani kehidupan dengan berbagai hiperbola
yang mengandung umpatan merendahkan, terlebih umpatan tersebut terucap dari
manusia-manusia terpilih yang menjadi pusat perhatian.
Kita adalah manusia Timur, dengan
adat budaya dan agama yang menjunjung tinggi bagaimana menempatkan kesakralan
dalam penghormatan lintas kehidupan. Kita sepakat bahwa azas-azas penghormatan
bukan berarti harus mengkultuskan. Keberadaban adalah ketika kita mampu menjaga
dan menempatkan setiap yang ada pada tempatnya hingga bisa diwariskan kepada
yang selanjutnya.
Ungkapan yang berhiperbola lebih
dari konteks memiliki konsekuensi yang berbeda tergantung siapa yang
menarasikan. Jika yang menarasikan adalah masyarakat biasa yang tidak memiliki
jangkauan pengaruh, ungkapan tersebut memiliki 'sense' biasa saja. Namun,
narasi yang disampaikan oleh satu manusia dengan pengaruh luar biasa memiliki
implikasi yang juga luar biasa.
Side effect tiru-meniru terjadi
tidak hanya pada ruang privat tapi juga pada kehidupan publik. Hal ini
melunturkan keberadaban, mengikis rasa toleransi atau penghormatan, bahkan
puncaknya bisa saja membiaskan dogma-dogma agama yang mengajarkan tentang etika
kesantunan. Kita tidak ingin melihat kesemrawutan manusia dengan kehidupan
liar.
Sentimentil menjadi biasa,
ungkapan yang tidak lagi mengarah pada kapasitas tapi lebih ke personal dapat
membawa tatanan keadaban kita sebagai manusia menjadi lebih buruk. Bahkan lebih
dari itu, hal ini membunuh kebiasaan rasa batas kita sebagai manusia, merusak
dan merobek-robek nalar hingga bisa berakhir pada puncaknya meniadakan kita
dalam cara berpandangan realita sebagai manusia yang harus mengakui keberagaman
perbedaan.
Kita sadar bahwa kritik harus
pada tempat dan konsepnya. Mengkritisi akan terlihat elegan jika memiliki dasar
yang jelas. Namun sekali lagi, bukan berarti narasi yang membabi buta dengan
kandungan diksi-diksi kebencian yang teramat memilukan bisa berdampak rusaknya
moral kita sebagai manusia diikuti. Kita pun perlu otokritik sebagai pondasi
dasar adanya usaha dan cara bagaimana membenahi diri kita sebelum bernarasi
tentang yang lain.
Menakar kritik adalah respon dari
suatu penilaian yang objektif, bukan subjektif, logis, dan mampu diterima oleh
setiap orang. Respon itu memang layak diberikan terhadap suatu keadaan yang
dianggap bisa melahirkan potensi sebab-akibat pada suatu masalah.
Tidak ada yang aneh bahwa
kebebasan berekspresi harus dibarengi dengan pertimbangan-pertimbangan batas
kita dalam berperilaku dan berperikemanusiaan. Kebebasan merupakan fase dari
rasa bebas dengan memberikan ruang-ruang penghormatan. Pada akhirnya, kebebasan
itu tercipta; kebebasan lahir dari rahim penghormatan yang bersifat ekspresif
dengan segala bentuk ekspresinya.
Kebebasan harus tetap menempatkan
kemuliaan. Kemuliaan di sini adalah penghormatan pada terciptanya rasa bebas.
Jika rasa bebas diperjuangkan tapi tidak melihat konteks batas-batas, maka itu
bukan sebuah kebebasan. Ada tanggung jawab, ada konsekuensi, ada etika. Ketika
keinginan kebebasan yang diagungkan haruslah tanpa memasung hak yang menentang
kebebasan itu sendiri. Tapi itulah realita bahwa keinginan harus menghormati
dari yang tidak menginginkan. Kita adalah entitas manusia yang memiliki peran
berpikir.
Bebas bukan selalu berarti
demokrasi tanpa konsekuensi dan sebuah kebebasan yang benar-benar bebas. Jika
satu pihak memperjuangkan tentang sebuah sistem kehidupan yang
demokratis/bebas, maka pihak ini pun harus menghormati kaidah-kaidah aturan
yang diberikan/dibuat dari yang menentang (pro-demokrasi harus menghormati
anti-demokrasi). Jika sudah saling memahami maka akan timbul saling
penghormatan. Dalam prosesnya, rasa penghormatan yang tercipta ini secara tidak
langsung akan menciptakan sebuah proses dan tatanan lain yang artinya ada
batas-batas tertentu tanpa harus menimbulkan pergeseran atau friksi yang justru
bersifat paradoks.
Kembali pada konteks tentang
sikap ekspresi, opini, atau pendapat, maka titik temu dari perjalanan narasi
ini adalah bahwa kebebasan beretorika harus siap dengan suatu konsekuensi.
Konsekuensi itu harus diterima dan menghormati kebebasan dalam persoalan adanya
pertentangan lain. Satu dengan kebebasan, satu lagi dengan alibi kebebasan untuk
tetap memelihara aturan dan batasan.