Archive for Agustus 2023
BUNDA, BENDERANYA PUSAKA
By : kontributorPernah kita mendengar merah dan putih terpisah dirajut disatukan menjadi satu, jaman sebelum kita yang disini, saat ini membaca terlahir kedunia. Mungkin, ada banyak tafsir tentang warna pada waktu itu, sekalipun hanya berisikan dua warna menyambung jadi satu kibaran merah putih diantara barisan-barisan tubuh lusuh tanpa pernah mengeluh, ditengah lapangan atau diantara parit dengan teriakan merdeka-merdeka..
Mereka pemberontak!
Bagi tamu asing yang berkuasa, memenjarakan pribumi dengan dalih perlawanan pada penguasa. Ya! Penguasa masa itu berbaju putih menunggang kuda-kuda atau kuda besi pembawa mesiu yang siap dikokang kapan saja. Sang asing yang datang dari negeri berkecamuk peperangan singgah di Nusantara, mengadu domba perang saudara.
Ada banyak darah dan sisa tulang berserakan, leluhur kita disiksa, ditikam, dan dihabisi hingga mati. Berkeringat, perih mata mengedip, kulit yang teramat licin, otot yang sudah mungkin ribuan kali kram, memanggul bambu-bambu yang runcing, berlari-lari teriak seraya memekikkan lafadz takbir. Bangsa mana yang mau diperintah dan dijajah?
Duaaar....
Meriam meletus
di atas bukit koloni, sawah becek jadi arena perebutan kemenangan, pejuang
berteriak lantang, “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar!” Amarah itu sudah
memuncak, takut pun tak terpikirkan, ingin mati sudah pasti daripada pasrah
terjajah. Satu tekad melawan tanpa pertahanan, merebut merdeka berdaulat.
Di sebuah rumah menerawang ke halaman atau alun-alun kota, gemerlap itu belum terlihat dan terdengar, tapi sulaman bendera telah disiapkan. Bunda Fatma merajut, menyulam, dan menjahit jadi satu dengan ukuran dua kali tiga meter di sebuah ruang makan. Kala itu, Bunda Fatma mengandung sembilan bulan. Bunda dengan teliti dan hati-hati merapikan kain yang pada waktu itu serba terbatas. Berurai air mata, Bunda Fatma menjahit menyulam bendera, menangis menahan sesaknya rasa sakit. Bagaimana fase mencapai kemerdekaan harus banyak jiwa dikorbankan.
Dua hari Bunda Fatma bekerja keras menyelesaikan, di tengah kehamilannya yang sudah sembilan bulan. Tangannya masih saja menari-nari, matanya serius memandang setiap kaitan benang merapatkan barisan sulaman. Ini seperti filosofi bagaimana saling mengaitkan bersama sejajar akan saling menguatkan.
Bunda bahagia, ini bukan perkara karya tapi proses mengenalkan identitas bangsa. Sekian ratusan tahun akhirnya kita tahu bahwa merah dan putih jadi benderanya Indonesia. Hadir berkibar di deklarasi proklamasi.
Bengkulu menyemaikan sejarah Indonesia. Sebuah bendera lahir dari tangan seorang wanita, istri dari pada yang akhirnya menjadi sang proklamator. Setelah masa keterasingan, Bunda menorehkan sejarah pusaka. Benar! Sebuah bendera yang hanya miliki dua warna, namun saktinya mampu menyatukan Nusantara.
ASING JADI BISING
By : adminpenulisDisclaimer! Penulis bukan bagian dari pendukung salah satu Bacapres/Capres
SENJA DI KALI CIESEK
By : kontributorAda canda yang membuatku ingat, ketika kita duduk disenja sore hari. Rambut terurai harum tercium dengan keadaan kita yang semakin terbuai suasana. Wajahmu memerah ketika gelak tawa, ada asa seperti yang sudah lama di nanti-nanti.
Aku tak punya kuasa menolak ketika senda gurau itu datang, karena inilah momen yang mengisi kekosongan kita selama dari ketiadaan kita tidak bertemu yang cukup lama. Ketika padangan itu datang aku yang justru tersipu malu, entah mengapa aku menunduk tiada untaian kata selain merasa bahwa hari itu indah.
Saat itu gerimis mulai turun, angin menerpa tubuh yang terasa dingin ini, aku butuh peluk tidak hanya kamu, aku butuh dekapan tidak hanya sekedar berdekatan. Aku pikir kita sedang di mabuk cinta percintaan dimana pikiran terasa goyang oleh godaan.
Kala terang alam redup berganti menuju malam kita beranjak, bergeser meninggalkan tempat yang hari ini menjadi pelengkap coretan dan cerita. Aku masih ingat kita berdua bersenja-senja disore hari di pinggir kali Ci Esek Cisarua.
Dulu kita tidak sedekat ini, satu untaian satu kehidupan, bahkan tak pernah terbayang untuk merajut kebersamaan. Aku rasa ini sudah takdir, walaupun prosesnya getir. Kita maklumi tiap perjalanan manusia tak ada yang sama, namun bukan berarti tak satu tujuan.
Jika teringat dimasa kita merajut asmara, ada senyum dan pedih ketika pikiran terpancing ke masa lalu. Seperti inilah bumbu dari kehidupan setiap orang. Mungkin! semua memiliki kisah dimasa pencarian, tentang pelabuhan hati dan sandaran dan bukan sekedar keinginan.
-puncakbogor 2011-
OPINI DAN MORALITAS
By : kontributorAda batas waktu; pagi berakhir
siang, siang berakhir sore, sore berakhir malam, dan akhirnya malam pun kembali
berakhir menjadi pagi.
Tak ada generasi yang
menginginkan generasi selanjutnya menjalani kehidupan dengan berbagai hiperbola
yang mengandung umpatan merendahkan, terlebih umpatan tersebut terucap dari
manusia-manusia terpilih yang menjadi pusat perhatian.
Kita adalah manusia Timur, dengan
adat budaya dan agama yang menjunjung tinggi bagaimana menempatkan kesakralan
dalam penghormatan lintas kehidupan. Kita sepakat bahwa azas-azas penghormatan
bukan berarti harus mengkultuskan. Keberadaban adalah ketika kita mampu menjaga
dan menempatkan setiap yang ada pada tempatnya hingga bisa diwariskan kepada
yang selanjutnya.
Ungkapan yang berhiperbola lebih
dari konteks memiliki konsekuensi yang berbeda tergantung siapa yang
menarasikan. Jika yang menarasikan adalah masyarakat biasa yang tidak memiliki
jangkauan pengaruh, ungkapan tersebut memiliki 'sense' biasa saja. Namun,
narasi yang disampaikan oleh satu manusia dengan pengaruh luar biasa memiliki
implikasi yang juga luar biasa.
Side effect tiru-meniru terjadi
tidak hanya pada ruang privat tapi juga pada kehidupan publik. Hal ini
melunturkan keberadaban, mengikis rasa toleransi atau penghormatan, bahkan
puncaknya bisa saja membiaskan dogma-dogma agama yang mengajarkan tentang etika
kesantunan. Kita tidak ingin melihat kesemrawutan manusia dengan kehidupan
liar.
Sentimentil menjadi biasa,
ungkapan yang tidak lagi mengarah pada kapasitas tapi lebih ke personal dapat
membawa tatanan keadaban kita sebagai manusia menjadi lebih buruk. Bahkan lebih
dari itu, hal ini membunuh kebiasaan rasa batas kita sebagai manusia, merusak
dan merobek-robek nalar hingga bisa berakhir pada puncaknya meniadakan kita
dalam cara berpandangan realita sebagai manusia yang harus mengakui keberagaman
perbedaan.
Kita sadar bahwa kritik harus
pada tempat dan konsepnya. Mengkritisi akan terlihat elegan jika memiliki dasar
yang jelas. Namun sekali lagi, bukan berarti narasi yang membabi buta dengan
kandungan diksi-diksi kebencian yang teramat memilukan bisa berdampak rusaknya
moral kita sebagai manusia diikuti. Kita pun perlu otokritik sebagai pondasi
dasar adanya usaha dan cara bagaimana membenahi diri kita sebelum bernarasi
tentang yang lain.
Menakar kritik adalah respon dari
suatu penilaian yang objektif, bukan subjektif, logis, dan mampu diterima oleh
setiap orang. Respon itu memang layak diberikan terhadap suatu keadaan yang
dianggap bisa melahirkan potensi sebab-akibat pada suatu masalah.
Tidak ada yang aneh bahwa
kebebasan berekspresi harus dibarengi dengan pertimbangan-pertimbangan batas
kita dalam berperilaku dan berperikemanusiaan. Kebebasan merupakan fase dari
rasa bebas dengan memberikan ruang-ruang penghormatan. Pada akhirnya, kebebasan
itu tercipta; kebebasan lahir dari rahim penghormatan yang bersifat ekspresif
dengan segala bentuk ekspresinya.
Kebebasan harus tetap menempatkan
kemuliaan. Kemuliaan di sini adalah penghormatan pada terciptanya rasa bebas.
Jika rasa bebas diperjuangkan tapi tidak melihat konteks batas-batas, maka itu
bukan sebuah kebebasan. Ada tanggung jawab, ada konsekuensi, ada etika. Ketika
keinginan kebebasan yang diagungkan haruslah tanpa memasung hak yang menentang
kebebasan itu sendiri. Tapi itulah realita bahwa keinginan harus menghormati
dari yang tidak menginginkan. Kita adalah entitas manusia yang memiliki peran
berpikir.
Bebas bukan selalu berarti
demokrasi tanpa konsekuensi dan sebuah kebebasan yang benar-benar bebas. Jika
satu pihak memperjuangkan tentang sebuah sistem kehidupan yang
demokratis/bebas, maka pihak ini pun harus menghormati kaidah-kaidah aturan
yang diberikan/dibuat dari yang menentang (pro-demokrasi harus menghormati
anti-demokrasi). Jika sudah saling memahami maka akan timbul saling
penghormatan. Dalam prosesnya, rasa penghormatan yang tercipta ini secara tidak
langsung akan menciptakan sebuah proses dan tatanan lain yang artinya ada
batas-batas tertentu tanpa harus menimbulkan pergeseran atau friksi yang justru
bersifat paradoks.
Kembali pada konteks tentang
sikap ekspresi, opini, atau pendapat, maka titik temu dari perjalanan narasi
ini adalah bahwa kebebasan beretorika harus siap dengan suatu konsekuensi.
Konsekuensi itu harus diterima dan menghormati kebebasan dalam persoalan adanya
pertentangan lain. Satu dengan kebebasan, satu lagi dengan alibi kebebasan untuk
tetap memelihara aturan dan batasan.
EMPATI TERBELI
By : kontributorTAK BERMODAL
By : kontributorPanggung gratis di pinggir jalan
tersenyum lebar berpeci hitam
beragam fose tanganpun diekspresikan
semata-mata cuma iklan jalanan
Apapun rupa warna rumahmu
seperti apapun misimu tetap tak enak
dipandang karena yang terpampang
hanya pencitraan
Sepertinya mereka hanya butuh panggung
panggung untuk sandiwara
di lima tahun sekali, mengabdi hanya untuk diam diri
tanpa celoteh mengoceh perjuangkan aspirasi
Kasihan sekali mereka
seperti pengemis jalanan, meminta empati ditengah keramaian. Ini bukan lelucon, ini serius, mereka penjaja suara untuk duduk disingasana.
Singgasana empuk yang banyak todongan kanan dan kiri, sekali duduk bisa terlelap, bermimpi dalam kemegahan diantara penderitaan rakyat yang sedang kelaparan.
Lihatlah pohon,
dimana disebrangnya ada tiang listrik
ini adalah mangsa dari pada badut-badut
yang haus kursi.
Lihatlah pos dan mushola
atau bahkan sekolah-sekolah
inipun mangsa dari pada yang sedang mencari kekuasaan
Bagi mereka,
setiap tempat adalah aset, untuk mengeruk dan mendulang suara, biar kata rusak yang penting jadi alat, alat peraga dan propaganda.
DIAM / TINGGAL NAMA
By : kontributor
Kota Hujan dulu lembab
oleh air yang menetes tanpa mengenal
musim
seperti dadaunan yang senantiasa tak pernah merasakan kering diantara gunung menghijau tanpa terlihat warna lain seperti merah dan coklat
Kini, alih berubah begitu cepat
tuan tanah dadakan muncul dimana-mana
begitupun “sang tuan” pemegang kebijakan
duduk manis tenang tanpa harus
keheran-heranan
Sang tuan sebelumnya pernah duduk dikursi
disebuah resto, bertemu tamu bersalam senyum meninggalkan satu bungkusan
tak ada yang tahu jika yang dibungkus bisa buat terbungkam dan tergadaikan
Rusak-rusak sudah..
tinggal menunggu tangis pilu
tinggal merah yang tertinggal mengganti dari yang tiada warna, tinggal amarah benci dari yang masih bernafas sentara yang bernafaspun hari ini diam
Biarkan kering karena disengaja seperti nampak sahara nantinya, jangan ada yang bersikukuh jika tak bisa menuduh tuan tanah kapanpun bisa datang jika ada teriakan lantang
Diamlah dan nikmati
pandangan yang tak nyaman harus dikata
ini jamannnya, ini eranya, sudah
waktunya
jangan cuma teriak, jangan berisik!
ini soal isi perut, jangan mengusik jadi diam saja atau nanti pulang tinggal nama